Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guyon Kasar Gus Miftah Viral: Alarm untuk Pendidikan Kita

5 Desember 2024   04:41 Diperbarui: 5 Desember 2024   07:48 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Viralnya seorang Miftah Maulana Habiburrahman merendahkan seorang bapak penjual es teh di tengah kerumunan jamaah menjadi perbincangan panas belakangan ini. Peristiwa ini bukan sekadar cerita tentang kata-kata yang melukai, tetapi cerminan budaya masyarakat kita yang masih kerap menormalisasi perilaku merendahkan orang lain. Momen selawatan yang seharusnya menjadi ajang berbagi ilmu justru berubah menjadi panggung penghinaan.

Dalam rekaman yang beredar pak Miftah dengan lantang melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Sontak, gelak tawa pun pecah dari rekan di sebelahnya hingga jamaah lain yang hadir.

Namun, di balik tawa itu ada seorang bapak pejuang nafkah yang berusaha menahan rasa malu. raut mukanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan tetapi ia memilih diam. Diamnya bukan tanda setuju melainkan wujud menahan diri agar tidak memperkeruh suasana.

Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Candaan yang berujung pada bullying seringkali dianggap biasa saja. Padahal, ketika sebuah “candaan” mulai melibatkan penghinaan terhadap harga diri seseorang maka itu bukan lagi lelucon melainkan tindakan yang menyakitkan. Inilah yang harus kita sadari bersama.

Apa yang terjadi di tengah selawatan itu memperlihatkan sisi kelam dari budaya masyarakat. Ketika sekelompok orang tertawa melihat orang lain direndahkan, tanpa sadar mereka telah menjadi bagian dari lingkaran bullying. 

Lingkaran ini tidak hanya berhenti di tempat kejadian tetapi menjalar ke masyarakat luas termasuk anak-anak dan remaja yang ikut menyaksikan.

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan hanya dari apa yang kita ajarkan tetapi juga dari apa yang mereka lihat. Ketika mereka menyaksikan tindakan merendahkan dianggap biasa bahkan disambut tawa, mereka mungkin berpikir bahwa itu hal yang wajar dilakukan. Itulah mengapa kasus bullying di sekolah masih sulit diberantas.

Ilustrasi. Belajar dari kasus Miftah Maulana Habiburrahman untuk stop candaan berlebihan ke arah bullying di sekolah. (shironosov)
Ilustrasi. Belajar dari kasus Miftah Maulana Habiburrahman untuk stop candaan berlebihan ke arah bullying di sekolah. (shironosov)

Data menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi darurat kasus bullying. Di lingkungan sekolah, tindakan kekerasan verbal maupun fisik masih terjadi. Anak-anak yang terlibat mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampaknya. tetapi bagi korban, luka itu bisa bertahan seumur hidup.

Kita sering lupa bahwa kata-kata bisa menjadi pelipur lara, juga bisa menjadi senjata tajam yang melukai hati. Peristiwa ini mengajarkan betapa pentingnya menjaga lisan terutama di depan publik.

Di sisi lain, ketika masyarakat ramai-ramai mengecam pelaku bullying, jangan sampai kita juga terjebak dalam tindakan serupa. Mengecam dengan kata-kata kasar atau ujaran kebencian sama saja memperbesar lingkaran bullying. Kita harus bisa menempatkan diri dengan bijak bila mengkritik tanpa merendahkan.

Setiap orang bisa khilaf meskipun sering dilakukannya. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dari kejadian ini. Kejadian ini adalah pengingat bahwa siapa pun —tak peduli statusnya— harus lebih bijak dalam bertindak dan berkata-kata.

Di era digital, apa yang kita lakukan mudah sekali tersebar luas. Begitu juga dengan efeknya. Satu tindakan salah bisa mempengaruhi ribuan bahkan jutaan orang termasuk generasi muda yang melihatnya. 

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk berhati-hati terutama mereka yang memiliki pengaruh di masyarakat.

Tugas kita sebagai masyarakat adalah menciptakan lingkungan yang sehat, baik secara fisik maupun mental. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mendorong budaya saling menghormati, bukan saling merendahkan.

Saat kita menyadari kesalahan dan lekas meminta maaf maka itu adalah langkah yang baik. Namun, lebih dari itu, perubahan perilaku adalah kunci utama untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi di masa depan.

Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Jika kita ingin membangun masa depan yang lebih baik maka kita harus memberikan teladan yang baik pula. Menghormati orang lain —tidak peduli status sosialnya— adalah salah satu nilai yang harus kita tanamkan sejak dini.

Refleksi untuk pendidikan bebas bullying. Bullying bukan untuk dinormalisasi, dampaknya dalam konteks pendidikan. (via tribunnews jateng)
Refleksi untuk pendidikan bebas bullying. Bullying bukan untuk dinormalisasi, dampaknya dalam konteks pendidikan. (via tribunnews jateng)

Peristiwa ini juga menjadi pengingat pentingnya literasi emosional. Literasi emosional bukan hanya tentang memahami perasaan sendiri, tetapi juga memahami dampak tindakan kita terhadap orang lain.

Kejadian ini juga membuat kita mempelajari istilah empathy gap, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk memahami atau merasakan apa yang dirasakan orang lain. Fenomena ini kerap menjadi akar dari tindakan bullying.

Sebagai masyarakat, kita perlu mendidik diri sendiri dan generasi kita untuk memiliki empati yang tinggi. Empati inilah yang akan menjadi penangkal utama terhadap perilaku merendahkan orang lain.

Budaya saling menghormati adalah fondasi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa itu kita hanya akan menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar di antara sesama.

Peristiwa ini juga menjadi pelajaran bagi pejabat negara, tokoh masyarakat, public figure, guru, dan siapa pun itu. Setiap tindakan dan ucapan kita adalah cerminan nilai-nilai yang kita sampaikan kepada orang lain.

Jika kita ingin menghentikan bullying maka kita harus memulai dari diri sendiri. Berhenti menormalisasi candaan yang merendahkan atau guyon dengan ungkapan kasar. 

Dan lebih selektif dalam memilih kata-kata adalah langkah sederhana yang bisa membawa perubahan besar.

Saatnya kita mewujudkan Indonesia yang aman dan nyaman untuk semua. Bukan hanya bebas dari kekerasan fisik tetapi juga dari kekerasan verbal yang jauh lebih melukai.

Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu tetapi kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik. Masa depan dimana setiap orang dihormati dengan apa pun status atau pekerjaannya.

Semoga kejadian ini menjadi refleksi bagi kita semua. Saatnya kita bangkit dan bersatu melawan bullying dalam bentuk apapun demi menjadi bangsa yang lebih beradab memanusiakan manusia.

Hanya dengan komitmen dari masing-masing individu maka kita bisa menciptakan perubahan yang berarti. Bullying tak pantas menjadi warisan untuk generasi kita. Mari kita jadikan ini sebagai momen untuk berubah dan mengakhiri semua hal yang tidak baik.

Stop bullying! Saatnya kita berubah. Saatnya kita peduli.

Semoga ini bermanfaat..

Literasi: literasi emosional, emphaty gap

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun