Namun bagi ibunya,
Affan bukan martir.
Ia anak sulung yang suka bercanda,
yang menyisihkan uang tips
untuk menolong keluarga.
Malam berkabung berubah jadi hujan batu.
Ibunya memeluk jasad Affan, berbisik:
"Anakku, pulanglah dalam damai.
Engkau tumbuh dalam kesulitan,
namun pergi dalam cahaya
yang tak bisa dipadamkan."
-000-
Affan tak lahir untuk jadi pahlawan.
Namun sistem yang timpang
mengangkatnya ke panggung sejarah.
Ia martir sederhana,
anak muda 21 tahun
yang hanya ingin hidup biasa.
Musim sudah berganti.
Tapi kota masih berbau gas air mata. Â
Di antara reruntuhan spanduk dan batu berserak, Â
sebuah nama terus tumbuh dari bibir rakyat: Affan. Â
Ia hidup kembali dan dihidupkan lagi,
dalam seruan, Â
dalam mitos,
dalam slogan,
bukan hanya sebagai korban, Â
tetapi sebagai gema nurani Â
yang menolak dilupakan.
Seorang penyair membayangkan apa yang tersisa:
Di sudut kamar Affan, seragam ojol masih tergantung---
keringat dan debu jalanan melekat di serat kain.