APA YANG TERJADI KETIKA PALESTINA MERDEKAOleh Denny JA
Di sebuah rumah sempit di Gaza, malam itu listrik padam total. Aisha, seorang gadis berusia dua belas tahun, menyalakan lilin kecil di samping buku sekolahnya.
Di luar, langit bergetar oleh dengung pesawat tempur. Ayahnya menutup jendela dengan papan kayu seadanya.
ibunya menenangkan adik bayinya yang menangis karena suara ledakan di kejauhan. Dalam ketakutan yang menyesakkan itu, Aisha bertanya lirih pada ibunya:
"Kalau Palestina jadi negara, apakah aku bisa sekolah tanpa takut bom?"
Pertanyaan sederhana itu memuat inti mimpi Palestina: kemerdekaan bukan hanya soal bendera yang dikibarkan atau lagu kebangsaan yang dinyanyikan. Kemerdekaan adalah hidup normal---aman, bermartabat, dan berdaulat.
Namun dunia internasional masih gamang. Seperti ditulis di Euronews, Jikapun Palestina berupaya untuk merdeka, ia disebut sebagai "negara setengah ada."
Palesina punya rakyat, punya pengakuan simbolik, tetapi belum memiliki kendali penuh atas tanah, ekonomi, atau keamanan.
-000-
Maa de la Baume, menulis di Euronews, Â enam sebab, walau diakui mayoritas dunia, Palestina tetap menjadi "negara setengah ada."
1. Tantangan Legal dan Konseptual
Konvensi Montevideo tahun 1933 memberi definisi klasik tentang apa itu negara: harus ada populasi permanen, wilayah jelas, pemerintahan efektif, dan kemampuan menjalin hubungan internasional.
Palestina memenuhi sebagian syarat: ia memiliki lebih dari 5 juta penduduk, misi diplomatik di banyak negara, bahkan status pengamat tetap di PBB.
Tetapi kelemahan fundamentalnya jelas: Palestina tidak memiliki wilayah yang sepenuhnya diakui.
Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur masih terfragmentasi, dengan kontrol sebagian besar dipegang Israel.
Palestina tak memiliki perbatasan mandiri, bandara, pelabuhan laut bebas, bahkan ibukota resmi.
Dalam istilah puitis: Palestina adalah "negara tanpa tanah"---suara yang ada di dunia, tapi tubuhnya masih tercerai-berai.
-000-
2. Dimensi Politik: Â Israel dan Veto Amerika
Israel secara konsisten menolak gagasan dua negara. Sekutunya yang paling kuat, Amerika Serikat, juga sering kali menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menggagalkan pengakuan penuh Palestina.
Lebih dari 150 negara memang sudah mengakui Palestina secara bilateral. Tetapi pengakuan itu belum cukup. Untuk menjadi anggota penuh PBB, Palestina harus melewati Dewan Keamanan. Dan di sana, satu veto dari AS saja sudah cukup untuk menutup pintu.
Inilah paradoks: legitimasi moral dari mayoritas dunia belum otomatis menjelma menjadi legitimasi hukum internasional.
-000-
3. Peta Wilayah: Retaknya Garis 1967
Rancangan solusi internasional biasanya kembali ke "batas 1967": Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Tetapi kenyataan lapangan kini jauh lebih rumit.
*700.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, dengan pemukiman yang terus berkembang.
*Gaza luluh lantak; PBB menyebutnya "hampir tak layak huni."
*Yerusalem Timur telah dianeksasi Israel, bahkan diakui Amerika Serikat sebagai bagian dari Israel.
Batas 1967 kini ibarat peta kulit macan tutul---penuh bercak, kantong-kantong pemukiman, yang membuat wilayah Palestina terpotong kecil-kecil.
-000-
4. Kepemimpinan yang Terbelah: Palestina Authority (PA) vs Hamas
Di sinilah muncul dilema besar yang sering membingungkan orang awam: siapa sebenarnya yang memimpin Palestina?
*Otoritas Palestina (PA) didirikan pada tahun 1994 setelah Perjanjian Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
PA dimaksudkan sebagai pemerintah sementara, dengan kewenangan terbatas di Tepi Barat dan Gaza.
Dipimpin oleh Mahmoud Abbas sejak 2005, PA diakui secara resmi oleh dunia internasional sebagai representasi rakyat Palestina.
Namun reputasinya lemah. PA dianggap korup, lamban, dan jauh dari rakyatnya.
*Hamas, sebaliknya, adalah organisasi Islam politik dan militer yang menguasai Gaza sejak 2007.
Hamas lahir dari perlawanan terhadap Israel, dan justru lebih populer di akar rumput karena simbol perjuangan.
Tetapi karena dianggap kelompok teroris oleh banyak negara Barat, Hamas tidak diterima di meja diplomasi internasional.
Inilah dilema pelik: dunia ingin PA sebagai mitra resmi, tetapi banyak rakyat Palestina lebih percaya Hamas.
Jika negara Palestina lahir dipimpin PA tanpa legitimasi rakyat, atau Hamas tanpa legitimasi internasional, maka negara itu bisa rapuh sejak awal.
-000-
5. Ekonomi yang Hancur dan Ketergantungan Donor
Ekonomi Palestina kini berada di jurang kehancuran. Gaza mengalami kontraksi ekonomi terdalam dalam satu generasi. Tepi Barat juga resesi.
Uni Eropa menjadi donor utama, memberikan ratusan juta euro. Tetapi infrastruktur yang mereka bangun---jalan, sekolah, bahkan bandara---berulang kali dihancurkan akibat konflik.
Palestina berisiko menjadi "negara donor-driven": ia ada secara simbolik, tetapi hidup sepenuhnya dari bantuan luar negeri. Itu bukan kemandirian, melainkan ketergantungan.
-000-
6. Syarat-Syarat Tambahan yang Membebani
Beberapa negara Eropa bahkan menambahkan syarat: pengakuan negara Palestina dikaitkan dengan pembebasan sandera Israel, atau larangan Hamas ikut memerintah.
Dengan kata lain, kemerdekaan Palestina bukan hanya soal peta, tetapi juga soal kompromi politik---siapa yang sah mewakili rakyat, dan konsesi apa yang harus dibayar.
-000-
Palestina punya hak moral sebagai bangsa untuk merdeka. Tetapi hak moral itu belum cukup.
Untuk menjadikannya realitas, diperlukan kompromi dengan Israel-AS, kepemimpinan baru yang legitimate, rekonstruksi ekonomi masif, dan jawaban atas syarat legal yang kini belum terpenuhi.
Palestina adalah janin negara: nyata dalam semangat, tetapi rapuh dalam tubuh.
Meski tantangan begitu berat, sejarah menunjukkan: banyak negara lahir dari kondisi yang lebih buruk, tetapi akhirnya bangkit. Palestina pun bisa, asal memenuhi tiga prasyarat berikut.
1. Prasyarat Politik: Rekonsiliasi Nasional dan Kepemimpinan Legitimate
Palestina hanya akan benar-benar merdeka bila rakyatnya bersatu. Tanpa rekonsiliasi antara PA dan Hamas, Palestina akan menjadi "negara kertas"---ada simbolnya, tapi hampa isinya.
Sejarah memberi teladan. Afrika Selatan lepas dari apartheid bukan karena senjata, tetapi karena Nelson Mandela menyatukan bangsa lewat rekonsiliasi.
Timor Leste juga merdeka karena Xanana Gusmo berhasil mengintegrasikan pejuang gerilya dengan rakyat sipil.
Palestina harus menempuh jalan serupa:
*Reformasi Otoritas  Palestina agar bersih dari korupsi.
*Mengintegrasikan Hamas ke jalur politik formal, bukan militer.
*Menyelenggarakan pemilu nasional yang diawasi dunia, agar rakyat benar-benar merasa memiliki negaranya.
Negara tanpa legitimasi rakyat adalah rumah tanpa fondasi.
-000-
2. Prasyarat Legal dan Geopolitik: Rekognisi Internasional yang Kokoh
Lebih dari 150 negara sudah mengakui Palestina. Tetapi itu baru modal moral. Status penuh di PBB adalah target berikutnya.
Bangladesh pada 1971 awalnya ditolak Pakistan, namun akhirnya diterima dunia. Timor Leste juga sempat dianggap "tidak viable," tetapi akhirnya menjadi negara merdeka penuh dengan dukungan PBB.
Palestina harus menempuh strategi serupa:
*Mengikat aliansi strategis dengan Uni Eropa, Liga Arab, dan Global South.
*Memperkuat posisi di organisasi internasional seperti UNESCO dan ICC.
*Memanfaatkan dunia multipolar, di mana veto AS semakin sulit menahan arus global.
Negara bukan hanya lahir dari garis peta, melainkan dari konsensus global.
-000-
3. Prasyarat Ekonomi: Rekonstruksi dan Kemandirian Bertahap
Kemerdekaan tanpa ekonomi ibarat tubuh tanpa jiwa. Palestina tidak bisa hanya menjadi "negara donor."
Sejarah membuktikan:
*Jerman Barat bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan Marshall Plan.
Setelah Perang Dunia II, Jerman Barat hancur total. Dengan bantuan dana besar dari Amerika melalui Marshall Plan, mereka membangun kembali ekonomi, infrastruktur, dan industri hingga cepat makmur.
*Vietnam keluar dari reruntuhan perang dan isolasi melalui reformasi Doi Moi.
Vietnam keluar dari perang panjang dan isolasi ekonomi. Tahun 1986, mereka meluncurkan reformasi Doi Moi: membuka pasar, mendorong investasi, dan menggabungkan sosialisme dengan ekonomi pasar sehingga tumbuh pesat.
Palestina bisa belajar:
1.Rekonstruksi besar-besaran dengan mekanisme yang melindungi infrastruktur dari kehancuran ulang.
2.Menguatkan sektor lokal: pertanian zaitun, pariwisata religi (Yerusalem, Bethlehem), serta pendidikan dan teknologi dari diaspora Palestina.
3.Integrasi ekonomi regional: menjalin kerja sama dengan Yordania, Mesir, dan negara Teluk.
Kemerdekaan sejati adalah ketika negara mampu memberi roti dan pekerjaan bagi rakyatnya.
-000-
Kemerdekaan bukan hanya kursi di PBB atau bendera di Olimpiade. Ia adalah anak Gaza yang bisa sekolah tanpa takut bom.
Ia adalah petani Hebron yang bisa panen zaitun tanpa digusur. Ia adalah ibu di Yerusalem Timur yang bisa melahirkan anaknya tanpa harus melewati pos pemeriksaan tentara.
Sejarah penuh ironi, tetapi juga penuh harapan. Afrika Selatan bebas, Timor Leste merdeka, Vietnam bangkit. Semua dulu dianggap mustahil, kini menjadi kenyataan. Palestina pun bisa.
Di antara puing dan darah, masih tumbuh harapan yang kokoh militan. Itu keyakinan bahwa suatu hari Palestina bukan sekadar isu geopolitik, melainkan rumah nyata bagi rakyatnya.
Di situlah esensi kemerdekaan berdiri---bukan hadiah dari luar, tapi hasil keberanian bangsa mengklaim masa depannya sendiri.
Filosofi akhirnya: Negara lahir bukan hanya dari hukum internasional, tetapi dari militansi  kolektif sebuah bangsa mengubah penderitaan menjadi harapan.***
Jakarta, 26 September 2025
Referensi
1.Ramzy Baroud -- The Last Earth: A Palestinian Story (2018)
2.Rashid Khalidi -- The Hundred Years' War on Palestine (2020)
3. Maa de la Baume -- Palestine as a state -- what would that actually look like? Euronews (24 September 2025). Link
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA's World
https://www.facebook.com/share/p/1CyYg2vRv9/?mibextid=wwXIfr
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI