Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gen Y Plus Xennials Gak Hilang, Mereka Aktif di Belakang Layar

20 September 2025   02:27 Diperbarui: 20 September 2025   02:34 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi antar generasi (AI Generated)

Kalau bicara gerakan sosial, Gen X dan Gen Z sering jadi bahan omongan. X dulu turun ke jalan dengan pamflet, spanduk, dan rapat yang tak ada habisnya. Z sekarang bikin geger dengan meme satir, poster nyeleneh, sampai aksi cosplay di tengah demo. Lalu Gen Y? Nama mereka jarang terdengar, seolah hilang ditelan arus. Padahal sebenarnya mereka tetap ada, hanya saja memilih jalur yang berbeda. Di tulisan sebelumnya kita sudah menyinggung Gen X yang rapi dan terstruktur, juga Gen Z yang cair dan kreatif dalam mengemas suaranya. Nah, di antara keduanya ada Gen Y yang sering terlupakan. Pertanyaannya sederhana: ketika X dan Z berebut panggung, sebenarnya ke mana perginya Y aka Millennials plus Xennials?

Millennial, lahir antara 1981 sampai 1996, tumbuh di masa peralihan besar. Mereka pernah pakai telepon rumah, menunggu kaset diputar di radio, sekaligus jadi saksi pertama ledakan internet, Friendster, blog, Facebook, dan Twitter awal. Mereka tidak sepenuhnya analog, juga bukan digital murni. Mereka justru generasi transisi. Menurut Pew Research Center, lembaga riset independen di Amerika yang banyak dipakai untuk mendefinisikan kategori generasi, Millennial adalah kelompok pertama yang masuk usia dewasa bersamaan dengan internet menjadi infrastruktur publik.

Kalau mau lebih detail, ada satu lapisan kecil di antara X dan Y yang disebut Xennials. Generasi mikro ini lahir hanya dalam rentang 1978--1982, itulah sebabnya mereka disebut mikro-generasi. Masa kecilnya masih kental dengan dunia analog, sementara masa dewasanya disambut teknologi digital. Xennials sempat main layangan, kelereng, dan kaset pita, tapi juga jadi generasi pertama yang menggunakan komputer MS-DOS, floppy disk, nonton MTV, pemakai ponsel jadul hingga pengguna internet awal. Posisi mereka yang unik membuat Xennials kerap dianggap generasi hibrid: cukup tua untuk memahami keteguhan struktur ala Gen X, tapi juga cukup muda untuk terbawa arus digital yang nantinya dikuasai Gen Y.

Gen Y bisa disebut generasi transisi yang menjembatani dua dunia. Dari Gen X mereka mewarisi sikap hati-hati, realistis, dan percaya pada struktur. Dari Gen Z mereka belajar kelenturan, kecepatan, dan kecakapan digital. Peran ini membuat mereka berfungsi sebagai penghubung, mampu berbicara dengan bahasa birokrasi yang formal, sekaligus nyambung dengan gaya komunikasi spontan khas media sosial. Mereka bukan sekadar "anak tengah" yang terjepit, melainkan penerjemah yang membuat dua generasi berbeda tetap bisa saling memahami.

Sering kali mereka jarang kelihatan di garis depan protes sosial, karena hidup mereka sudah penuh beban. Banyak dari mereka sekarang sibuk di dua hal. Pertama, stabilitas hidup pribadi: menikah, punya anak, cicilan rumah, bahkan tanggung jawab mengurus orang tua. Kedua, posisi struktural: banyak Millennial sudah duduk di kursi manajer, staf ahli, anggota legislatif, bahkan kepala daerah. Kombinasi tanggung jawab inilah yang membuat Gen Y sering disebut sandwich generation. Mereka terhimpit di antara dua sisi: menopang generasi di atasnya yang menua sekaligus membesarkan generasi di bawahnya yang masih butuh dukungan penuh. Energi mereka terbagi, tapi bukan berarti apatis. Justru lewat jalur yang lebih senyap, mereka tetap menggerakkan perubahan. Petisi online, kampanye digital, dan crowdfunding banyak lahir dari tangan Gen Y. Ingat Ice Bucket Challenge tahun 2014 yang berhasil mengumpulkan lebih dari 200 juta dolar untuk riset ALS? Atau di Indonesia, berdirinya Kitabisa.com sejak 2013 yang menjelma jadi mesin gotong royong digital. Semua itu lahir dari kreativitas Millennial.

Tokoh-tokoh Millennial pun banyak yang menonjol sebagai simbol generasi ini. Mark Zuckerberg lewat Facebook membangun pondasi media sosial global yang kemudian dipakai Gen Z untuk melahirkan gerakan viral. Emmanuel Macron tampil sebagai presiden muda Prancis yang lihai memainkan komunikasi politik formal sekaligus digital. Di Indonesia, William Tanuwijaya lewat Tokopedia mengubah pola belanja masyarakat, sementara Najwa Shihab menjembatani jurnalisme klasik dengan ruang diskusi digital yang interaktif. Figur-figur ini menunjukkan bahwa Millennial mungkin tidak berisik di jalan, tetapi diam-diam mereka yang menata panggungnya.

Sekarang, semakin banyak Gen Y yang menduduki jabatan publik maupun posisi strategis. Usia mereka yang kini rata-rata masuk 30--40 tahun membuat mereka berada di fase puncak karier. Dari politik hingga pemerintahan, wajah-wajah Millennial makin sering muncul sebagai wali kota, anggota DPR, staf ahli menteri, atau bahkan pemimpin negara. Karakter kepemimpinan mereka pun punya corak khas. Mereka kolaboratif, cenderung anti gaya bos besar, lebih suka rapat singkat tapi padat, dan terbuka mendengar aspirasi bawahan. Mereka digital minded, nyaman menggunakan data dan teknologi untuk mengambil keputusan, dan melihat media sosial bukan sekadar kanal promosi, tapi juga alat komunikasi politik. Mereka transparan dan partisipatif, terbiasa membuka forum daring, polling publik, atau sesi tanya jawab terbuka. Mereka berorientasi nilai, menekankan isu keberlanjutan, inklusivitas, dan keseimbangan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Mereka juga pragmatis sekaligus fleksibel, realistis dengan birokrasi tapi cukup lentur untuk mencari celah agar kebijakan bisa berjalan cepat.

Kalau Gen X dikenal agak kaku dan Gen Z sering dianggap terlalu idealis, Gen Y berdiri di tengah sebagai jembatan. Mereka bisa bicara bahasa rapat formal, tapi juga fasih berbincang dengan warganet. Inilah yang membuat kepemimpinan Millennial khas, tidak hanya mengatur tapi juga menghubungkan. Saat pandemi melanda, Gen Y membuktikan ketajamannya. Mereka cepat menata pola kerja hibrida, memadukan rapat daring, kolaborasi Google Docs, dan update via Slack. McKinsey mencatat Millennial lebih fleksibel dalam menerima sistem kerja campuran dibanding generasi sebelumnya. Sistem yang kini dipakai Gen Z untuk bergerak sebagian besar adalah hasil racikan Gen Y.

Jadi, kalau ada yang bertanya "sebenarnya ke mana perginya Y, generasi Millennial plus Xennials?", jawabannya sederhana: mereka tidak ke mana-mana. Mereka hanya bergeser dari panggung depan ke balik layar. Dari megafon ke dashboard, dari spanduk ke aplikasi, dari jalanan ke ruang rapat. Mereka mungkin tak sefotogenik Gen Z dalam mengemas aksi, atau sekuat Gen X dalam menahan struktur lama, tapi justru Gen Y bersama Xennials yang memastikan kabel listrik tetap tersambung. Tanpa mereka, panggung yang riuh itu akan padam sebelum waktunya.

(Ajuskoto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun