Akhirnya, gerakan khas Gen Z menunjukkan bahwa marah tidak harus kehilangan rasa bermain, dan protes tidak selalu berarti kaku. Justru dalam campuran antara humor dan keberanian itulah lahir energi sosial baru, energi yang mungkin lebih sulit dikendalikan, tapi sekaligus lebih sulit dimatikan.
Lalu bagaimana jika suatu hari Gen Z bukan lagi penggerak jalanan, melainkan pemegang kuasa?Â
Mungkin wajah politik dan sosial akan lebih transparan, lebih cair, dan jauh lebih terhubung lintas batas. Birokrasi yang kaku bisa runtuh diganti dashboard real-time. Identitas minoritas bukan lagi bahan debat, melainkan bagian alami dari kehidupan. Mereka yang terbiasa bercanda di tengah protes juga akan membawa humor dan ironi ke meja perundingan.
Di bawah kepemimpinan Gen Z, dunia tidak akan kehilangan konflik, tapi cara menanganinya bisa berubah: lebih visual, lebih kolaboratif, lebih cepat merespons. Mungkin rapat kabinet masa depan akan terasa mirip live stream, dengan bahasa yang sederhana dan simbol yang lebih kuat daripada jargon teknokratik. Seperti bendera Rogers di One Piece, mereka tak takut mengibarkan panji berbeda dari generasi lama, namun tetap setia pada solidaritas sesama kru.
Masa depan di tangan Gen Z bukanlah janji utopis, melainkan arena baru di mana protes dan tawa bisa berjalan beriringan, dan keberanian untuk berbeda menjadi fondasi kepemimpinan.
(Ajuskoto)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI