Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Mungkin tidak signifikan, namun melalui niat baik, doa dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gerakan Sosial Khas Gen Z dan Bedanya Dengan Gen X

18 September 2025   22:14 Diperbarui: 18 September 2025   22:27 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau kita amati demo yang digerakkan anak-anak Gen Z di berbagai kota Asia, rasanya agak lain dibanding generasi yang lebih tua. Ada semacam energi baru: penuh warna, cepat, cair, dan tidak mudah ditebak. Mereka lahir dan besar di tengah gempuran internet dan media sosial, jadi bahasa protesnya ikut berubah. Poster bisa jadi meme, orasi bisa ditransformasi jadi video 15 detik yang langsung viral, dan solidaritas lintas negara muncul hanya dengan satu tagar.

Generasi X seperti saya sendiri, dulu tumbuh di bawah bayang-bayang otoritas yang masih kuat. Gerakan mereka kerap rapi, penuh hierarki, dengan tokoh karismatik di depan. Protes terasa serius, kadang berat, dan disusun seperti sebuah organisasi mini. Gen X mengandalkan teks panjang, pamflet, dan pertemuan fisik. Sementara itu, Gen Z lebih percaya pada gerakan tanpa pemimpin, leaderless movement, di mana siapa saja bisa muncul jadi penggerak asalkan punya ide cemerlang atau simbol yang mengena.

Kekuatan Gen Z justru ada pada keberanian bermain-main. Mereka tahu situasi serius, tapi memilih menyelipkan humor, satir, bahkan cosplay. Dari luar, bisa terlihat seperti festival budaya---padahal itulah bentuk perlawanan. Di Bangkok, mahasiswa menggunakan simbol kartun Jepang seperti Hamtaro untuk menyindir pejabat korup. Di Hong Kong, gerakan payung jadi ikon global, dengan koreografi massa yang membuat aparat bingung. Di Jakarta, poster nyeleneh bertebaran: "Turunkan harga skincare, baru kita bahas harga BBM." Dari ruang maya ke ruang nyata, Gen Z menjadikan politik sebagai panggung performatif.

"Yang membedakan, arah gerakan Gen Z lebih banyak bertumpu pada tujuan sosial ketimbang tujuan politik formal".

Mereka menuntut akses pendidikan, keadilan gender, lingkungan yang sehat, atau harga kebutuhan yang wajar. Bagi mereka, isu sosial adalah politik itu sendiri tanpa harus terseret kalkulasi kursi parlemen atau ambisi partai. Gen X cenderung membidik perubahan struktural lewat politik konvensional, sementara Gen Z memilih memengaruhi budaya dan pola pikir publik, karena itulah yang terasa lebih dekat dengan kehidupan nyata mereka.

Gen Z juga lebih inklusif. Kalau Gen X cenderung mengusung isu besar yang tunggal misalnya demokrasi, kebebasan politik, atau reformasi ekonomi. Gen Z bisa berangkat dari banyak pintu: lingkungan, gender, pendidikan, bahkan keresahan sehari-hari soal harga kopi atau biaya kuliah. Semua dijahit dengan satu benang: rasa keadilan. Mereka tidak lagi melihat identitas sebagai hal kaku. Laki-laki, perempuan, queer, semua bisa sejajar di barisan.

Di sinilah metafora One Piece terasa pas. Kalau Gen X adalah kapal perang dengan nakhoda tunggal, Gen Z lebih mirip armada bajak laut bebas. Mereka mengibarkan bendera Rogers, tengkorak yang bukan sekadar tanda bahaya tapi juga lambang solidaritas sesama kru yang berbeda latar. Satu panji yang menampung keberagaman, sekaligus menantang otoritas mapan.

Riset juga mendukung perbedaan ini. Menurut Twenge (2017), Gen Z lebih pragmatis sekaligus lebih cemas karena lahir dalam era krisis beruntun. Dimock (2019) menunjukkan bahwa akses internet sejak dini membentuk identitas cair yang sangat berbeda dengan Gen X yang lebih stabil dan hierarkis. Sementara itu, studi Mannheim klasik tentang "generational consciousness" menjelaskan bagaimana pengalaman kolektif krisis akan mencetak pola unik tiap generasi. Itu sebabnya, Gen Z yang besar di tengah resesi global, pandemi, dan krisis iklim punya gaya protes yang reflektif sekaligus penuh satire.

Bedanya dengan Gen X, generasi Z punya pandangan global yang lebih melekat. Demo di Bangkok bisa belajar dari taktik Hong Kong, poster Jakarta bisa terinspirasi dari Seoul, dan mereka menyadari bahwa masalah di negaranya sering punya akar serupa dengan tempat lain. Sementara Gen X lebih lokal dan nasional, Gen Z lahir dengan perspektif lintas batas sejak awal.

Kalau disederhanakan, Gen X adalah generasi disiplin yang mengatur barisan dengan ketat, sementara Gen Z adalah generasi yang menjadikan barisan itu panggung kreatif. Satu menekankan struktur, yang lain menekankan ekspresi. Keduanya sama-sama serius, tapi cara berteriaknya berbeda: Gen X lewat pengeras suara, Gen Z lewat meme yang dibagikan berjuta kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun