Dulu, istilah jual diri hampir selalu muncul dalam konteks darurat. Orang melakukannya karena perut lapar, karena utang, atau karena tidak ada pilihan lain.
Kini, di era internet dan media sosial, pola itu bergeser drastis. Seksualitas bisa jadi komoditas tanpa harus keluar rumah, bahkan tanpa harus bertemu langsung.
Yang lebih mengejutkan, pelakunya bukan lagi perempuan dewasa di jalanan, di kos-kosan, di hotel-apartemen, atau di lokalisasi, melainkan anak-anak sekolah yang baru belajar mengenal dunia.
Ada benang merah yang kerap berulang. Mayoritas lahir dari keluarga broken home—orang tua yang bercerai, abai, atau sekadar tidak hadir.
Ada juga yang melalui fase pernikahan gagal. Rangkaian tahapannya sering kali sama: tanpa figur orang tua atau pernikahan yang kandas, pacaran bebas, dikhianati berulang, lalu berujung pada menjual diri, kali ini lewat jalur digital/online.
Yang berbahaya saat ini adalah platform video streaming dan aplikasi Video Call Sex (VCS). Banyak remaja, bahkan anak SMP dan beberapa kasus SD, dengan sukarela membuka diri di depan kamera.
Mereka mentransaksikan video asusila, masturbasi, atau hubungan intim dengan pacar. Dari rekaman yang beredar, nyaris tak terlihat adanya paksaan.
Motivasi mereka datang dari keinginan gaya hidup, permintaan pasangan, atau rayuan predator manipulatif di game online—Roblox, misalnya, yang sedang populer.
Tidak sedikit pula yang melakukannya karena kombinasi dorongan. Ada yang memang butuh uang untuk kebutuhan dasar—makan, bayar kos, menutup biaya sekolah.
Ada yang mengejarnya demi hedon: gawai baru, liburan, atau barang-barang yang membuat mereka merasa sejajar dengan teman sebaya. Ada pula sisi psikologis yang jarang dibicarakan: menjual diri sebagai bentuk sadar atau tidak sadar dari balas dendam kepada laki-laki.