Mohon tunggu...
ajril sabillah
ajril sabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Mengejar Impian

25 Juni 2025   08:40 Diperbarui: 25 Juni 2025   08:40 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lompat Tebing (Sumber Foto: Merdeka.com)

Setiap pagi sebelum matahari sepenuhnya terbit, Dika sudah melangkah meninggalkan rumah papan yang berdiri di ujung kampung kecil di lereng gunung. Jarak antara rumahnya ke sekolah adalah delapan kilometer, dan tidak ada angkutan umum yang lewat di sana. Tidak ada sepeda, apalagi motor. Hanya kakinya yang setia menapak jalan tanah yang becek saat hujan, berdebu saat kemarau.

Teman-temannya di sekolah sering kali terkejut ketika tahu Dika datang dari begitu jauh. Tapi dia tak pernah mengeluh. Baginya, setiap langkah adalah satu huruf dari kalimat besar yang ingin ia tulis dalam hidupnya: mimpi menjadi guru.

"Aku ingin jadi guru Bahasa Indonesia, Bu. Biar anak-anak kampung kita bisa baca puisi dan menulis cerita seperti anak-anak kota," begitu katanya suatu malam pada ibunya, Sarti, yang sedang menanak nasi dengan tungku kayu.

Ibunya hanya mengangguk pelan. Tak banyak kata keluar dari mulut perempuan itu, tetapi dalam diamnya, ia menyimpan doa yang tak henti-henti mengiringi langkah putranya.

Dika adalah anak tunggal dari seorang janda penjual pisang goreng keliling. Ayahnya meninggal saat ia kelas tiga SD, tertimpa pohon saat mencari kayu bakar di hutan. Sejak saat itu, kehidupan mereka menjadi lebih sulit. Tapi Dika justru semakin gigih belajar, seakan-akan setiap lembar buku adalah jembatan yang menghubungkannya dengan masa depan yang ia impikan.

Setiap pagi, Dika bangun pukul empat. Setelah membantu ibunya menyiapkan adonan pisang goreng untuk dijajakan ke pasar, ia mandi dengan air sumur yang dingin, mengenakan seragam sekolah yang sudah memudar warnanya, lalu memulai perjalanan panjangnya. Ia selalu membawa buku catatan kecil di sakunya. Saat berhenti sebentar di pos ronda atau batu besar di tepi sawah, ia menuliskan apa pun yang ada di pikirannya---puisi tentang embun, cerita tentang langit, atau percakapan imajiner dengan tokoh-tokoh yang hanya ada dalam pikirannya.

Guru-gurunya di SMA menyadari bahwa Dika bukan murid biasa. Nilainya selalu bagus, dan tulisannya sering dimuat di mading sekolah. Ia pernah mewakili sekolah dalam lomba menulis cerpen tingkat kabupaten dan menang, meski ia datang ke lokasi lomba dengan kaki penuh lumpur karena jalan rusak.

"Kamu punya semangat yang langka, Dik. Jangan pernah padam, ya," kata Bu Reni, guru Bahasa Indonesia yang paling dekat dengannya.

Waktu berjalan. Kelas tiga SMA menjadi masa yang paling menentukan. Saat teman-temannya sibuk memilih kampus impian, Dika pun diam-diam mendaftar beasiswa ke sebuah universitas negeri di kota. Ia tahu ibunya tak mungkin mampu membiayai kuliah, bahkan sekadar ongkos ke kota pun terasa berat. Tapi dia percaya, mimpi harus dikejar, bukan ditunggu.

Hari pengumuman beasiswa datang. Dika membuka pengumuman di warnet desa yang hanya buka tiga jam sehari. Tangannya gemetar saat mengetik namanya. Layar komputer menampilkan satu kalimat yang membuat dadanya sesak---namanya ada di urutan ketujuh dari penerima beasiswa penuh Fakultas Bahasa dan Sastra.

Ia keluar dari warnet dengan air mata mengalir tanpa suara. Di jalan pulang, ia berlari seperti anak kecil, menerobos angin dan semak-semak, menuju rumahnya. Saat sampai, ia memeluk ibunya erat-erat.

"Kita bisa sekolah, Bu. Kita bisa!"

Malam itu, rumah mereka yang biasanya sunyi menjadi hangat oleh suara harapan. Meski tak ada pesta, tak ada kue, dan hanya ada nasi putih dengan tempe goreng, malam itu adalah malam paling mewah dalam hidup mereka.

Di tahun pertama kuliah, Dika sempat tersesat. Kota terlalu ramai, terlalu asing. Tapi seperti biasa, ia tetap berjalan. Ia belajar dari siapa pun---dosen, penjaga kos, bahkan tukang koran di pinggir jalan. Ia menulis dan terus menulis. Puisinya pernah dibacakan di acara kampus. Cerpennya dimuat di media daring. Semua itu ia lakukan sambil bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko buku.

Empat tahun kemudian, ia lulus dengan predikat cumlaude.

Saat nama "Dika Setiawan" dipanggil di upacara wisuda, auditorium penuh tepuk tangan. Di antara para hadirin, seorang ibu berkain batik lusuh berdiri paling depan, menahan tangis bahagia. Ia bukan ibu pejabat, bukan pengusaha. Ia hanya ibu penjual pisang goreng yang tak pernah berhenti berdoa.

Kini, Dika kembali ke kampung halamannya. Ia bukan lagi siswa yang berjalan kaki melewati sawah, tetapi seorang guru yang berdiri di depan kelas, mengajarkan anak-anak menulis puisi dan merangkai impian. Ia mengubah ruang kosong menjadi perpustakaan kecil. Ia mengajak murid-muridnya menulis cerita tentang hidup mereka, tentang sawah, tentang mimpi.

Dan setiap kali ia melihat salah satu muridnya menatap papan tulis dengan mata berbinar, Dika tahu: langkah-langkah kaki yang dulu terasa berat, telah sampai pada tujuan. Mimpi itu nyata, dan ia ingin menjadi bukti hidup bahwa siapa pun yang terus melangkah, meski pelan, meski jatuh bangun, suatu hari akan sampai.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun