Mohon tunggu...
ajril sabillah
ajril sabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lukisan dari Kampung Halaman

23 Juni 2025   12:42 Diperbarui: 23 Juni 2025   12:42 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lukisan (Sumber Foto: Pinterest.com)

Pagi di kota besar selalu datang terburu-buru. Bunyi klakson bersahutan seperti orkestra yang kehilangan konduktor, asap kendaraan menyelimuti trotoar, dan orang-orang berjalan cepat dengan wajah-wajah penuh beban. Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pemuda duduk diam di balik jendela studio lukis kecilnya. Namanya Bayu. Ia baru saja menginjak usia 24 tahun, namun rambutnya mulai memutih di ujung-ujung, bukan karena usia, tapi karena tekanan hidup yang tak pernah bersedia kompromi dengan impian.

Di hadapannya, sebuah kanvas putih berdiri kokoh. Kuas, palet warna, dan air dalam gelas kaca sudah siap. Tapi tangannya tak juga bergerak. Sudah tiga hari ia hanya menatap kanvas kosong itu. Kepalanya penuh, namun hatinya hampa.

Bayu merantau dari sebuah desa kecil di kaki Gunung Lawu. Ia anak petani yang sejak kecil sudah akrab dengan bau tanah basah, suara kodok di malam hari, dan langit penuh bintang tanpa polusi. Ibunya sering bilang, "Bayu, kamu boleh bercita-cita tinggi, tapi jangan pernah lupa tanah tempat kakimu pertama berdiri." Kalimat itu selalu ia bawa, seperti jimat yang disimpan di lipatan hati. Namun kota ini terlalu bising untuk mendengar pesan-pesan dari kampung.

Dulu, waktu kecil, Bayu suka menggambar di belakang lembar ujian sekolahnya. Ia menggambar sawah, kerbau, rumah panggung, dan matahari bundar besar di sudut kertas. Ibunya tak pernah marah melihat nilai ulangannya jelek karena terlalu asyik menggambar. "Tak apa, asal kau bahagia, Nak," kata Ibu, sambil merapikan kertas-kertas penuh coretan yang ia simpan diam-diam di dalam kotak nasi tua.

Ketika SMA, Bayu nekat mendaftar ke sekolah seni di kota. Ia diterima. Tapi ayahnya marah besar. "Kamu pikir menggambar bisa bikin kenyang? Mau jadi apa nanti?" katanya. Tapi diam-diam, Ayah tetap memberinya uang ongkos, dengan berpesan, "Jangan kecewakan Ibumu."

Kini, empat tahun sejak lulus kuliah seni, Bayu masih bertahan di kota besar sebagai pelukis jalanan. Ia sering mengamen lukis di taman, menjual lukisan kecilnya ke galeri, dan sesekali mendapat pesanan potret. Namun, ia merasa kehilangan. Semakin lama, lukisannya semakin kosong, tak ada jiwa. Ia melukis bunga yang tak pernah ia cium baunya, melukis kota yang tak ia cintai, dan menjual karya yang bahkan tak ia pahami sendiri.

Suatu malam, ketika ia membereskan studio kecilnya yang lembap, ia menemukan sebuah amplop cokelat tua. Di dalamnya, ada kertas lusuh bergambar sawah dan gunung, digambar dengan krayon hijau dan cokelat. Di pojoknya tertulis, "Lukisan pertamaku -- Bayu, kelas 2 SD." Dan di baliknya, dengan tulisan tangan khas ibu-ibu desa, ada kalimat: "Lukisan ini Ibu simpan, agar kelak kamu tahu dari mana kamu berasal."

Bayu meneteskan air mata. Sudah lama sekali ia tak menangis. Tiba-tiba hatinya seperti diguyur hujan setelah kemarau panjang. Malam itu juga, ia mengambil kuas, mencampur warna hijau daun, biru langit, cokelat tanah, dan mulai melukis. Ia tak peduli komposisi modern, teori seni, atau konsep pameran. Ia hanya melukis sawah desanya, jalan tanah, gubuk tua, langit senja yang menggantung di balik gunung, dan seorang ibu berselendang merah sedang menjemur padi.

Lukisan itu selesai dua hari kemudian. Ketika seorang kurator galeri datang melihat, ia tertegun. "Ini... luar biasa. Ini bukan sekadar lukisan. Ini adalah ingatan, ini adalah rumah," katanya.

Lukisan itu akhirnya dipajang dalam sebuah pameran bertema "Akar dan Ranting". Di bawah lukisan itu, tertulis: "Lukisan dari Kampung Halaman" --- Bayu Setiawan. Orang-orang yang melihat, terdiam lama di depannya. Beberapa bahkan menangis diam-diam. Rupanya, yang paling menyentuh dari sebuah karya bukan tekniknya, tapi kejujurannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun