Kau lihat aku dari jauh,
dengan mata yang lebih puitis dari kenyataan.
Kau kira aku senja yang menahan gerimis,
padahal aku hanya perempuan yang kelelahan
memilih warna blush yang tak membuatku terlihat rapuh.
Kau pikir aku menyimpan banyak kata dalam dada,
padahal aku hanya sedang berlatih diam,
agar tidak selalu ingin didengar.
Sedotan di bibirku itu bukan pertahanan,
hanya jeda kecil antara satu kecewa dan kecewa berikutnya.
Kau bilang aku seperti hari Sabtu sore,
tapi bahkan Sabtu pun kadang ingin jadi Selasa---
agar tak selalu ditunggu,
tak selalu harus menjadi akhir yang menyenangkan.
Tapi terima kasih,
karena dari semua orang yang melihatku sekilas
dan berlalu begitu saja,
kau memilih tinggal sedikit lebih lama,
menata caraku duduk jadi kalimat,
menggambarkan pipiku yang semburat
bukan sebagai kekacauan,
melainkan sebuah bentuk dari keberanian untuk tetap datang,
meski hati belum tentu siap.
Dan jika aku seperti puisi yang belum selesai,
maka barangkali karena aku memang belum ingin selesai.
Aku masih ingin merasa,
masih ingin kehilangan arah,
masih ingin menangis diam-diam,
tanpa harus segera ditenangkan.
Jadi, jika kau masih ingin menulisku,
tulislah dengan tinta yang sabar,
dengan jeda di antara baris yang panjang,
dan biarkan aku menjadi puisi yang tidak harus dipahami,
cukup dirasakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI