Misalnya, saham menawarkan potensi pertumbuhan tinggi, namun dengan risiko fluktuasi yang besar. Saham sangat cocok untuk jangka panjang, bagi mereka yang siap mental menghadapi naik-turunnya harga. Di sisi lain, obligasi seperti ORI023 yang menawarkan kupon 6,10% adalah pilihan stabil bagi investor konservatif yang ingin pendapatan tetap. Deposito, meski bunganya lebih rendah (rata-rata 4,25%--4,75%), cocok untuk dana cadangan karena aman dan likuid. Sedangkan emas, kini makin digemari sebagai pelindung nilai terhadap inflasi, meskipun bukan bebas risiko. Harga bisa fluktuatif dalam jangka pendek, dan tidak menghasilkan pendapatan pasif seperti obligasi.
Properti jadi primadona bagi mereka yang ingin pertumbuhan aset jangka panjang. Harga tanah dan rumah, terutama di pinggiran kota besar, mengalami kenaikan signifikan, sekitar 7,8% dalam dua tahun terakhir di kawasan penyangga Jakarta. Tapi properti punya kelemahan: tidak likuid, butuh modal besar, dan biaya perawatan tinggi.
Pemilihan instrumen tak bisa hanya berdasar tren. Ia harus berdasar tujuan, likuiditas, dan toleransi risiko. Jangan semua dana ditempatkan di aset agresif jika kamu butuh uangnya enam bulan lagi. Jangan pula semua ditempatkan di aset pasif jika kamu mengejar pertumbuhan jangka panjang. Kenali, pahami, dan cocokkan, baru berinvestasi. Jangan asal serok karena takut tertinggal. Karena dalam investasi, pengetahuan adalah pelindung terbaik dari penyesalan.
FOMO Boleh, Tapi Jangan Sampai Buta
FOMO dalam investasi, kalau dikelola dengan bijak, bisa menjadi pemantik semangat belajar dan bertindak. Tapi bila dibiarkan liar tanpa pengetahuan, bisa berubah jadi jebakan. FOMO sejatinya bukan musuh, selama kita mengendalikannya, bukan dikendalikan olehnya. Banyak orang tertarik berinvestasi karena melihat teman sukses, influencer tampil glamor, atau media memberitakan rekor harga emas. Tapi apakah mereka sempat bertanya: apakah saya benar-benar siap?
Fenomena antre beli emas dari subuh bukan semata karena minat investasi, tapi karena dorongan emosional, takut tertinggal. Padahal, emas bukan tanpa risiko. Bila dibeli di harga puncak, lalu harga koreksi, dan kamu butuh dana cepat, bisa-bisa dijual rugi. Sama halnya dengan saham, terlihat mudah karena hanya klik di aplikasi, padahal risikonya kompleks. Banyak investor pemula yang kalap membeli saat indeks naik dan menjual karena panik saat turun. FOMO sering mengaburkan pertanyaan penting: "Kenapa saya harus berinvestasi di sini?" dan "Apa rencana saya jika skenario terburuk terjadi?"
Kita harus geser FOMO jadi Fear of Missing the Right Opportunity, takut ketinggalan peluang yang benar, bukan sekadar ikut-ikutan. Rasa takut itu bisa dimanfaatkan sebagai motivasi untuk mencari ilmu, mengenal profil risiko pribadi, menyusun strategi, dan menetapkan tujuan investasi. Mulai dari hal kecil: punya dana darurat, tahu kapan butuh likuiditas, dan memahami horizon waktu. Karena tak semua orang cocok dengan saham, tak semua orang punya waktu menunggu properti naik harga, dan tak semua uang cocok dijadikan emas batangan.
Jadi, FOMO boleh, asal rasional. Jangan sampai jadi buta dan kehilangan arah. Dalam dunia keuangan, langkah terbaik bukan ikut ramai-ramai ke pasar, tapi tahu kenapa kita ke sana dan apa yang ingin kita beli. Investasi bukan tentang meniru orang lain, tapi tentang mempersiapkan masa depan diri sendiri.
Investasi adalah Maraton, Bukan Lomba Lari 100 Meter
Investasi bukan arena sprint tempat siapa cepat dia menang. Ia adalah maraton panjang yang menuntut disiplin, konsistensi, dan ketenangan hati. Dalam maraton, penting menjaga ritme dan energi agar tak tumbang di tengah jalan. Begitu pula investasi: tak semua harus dimulai dengan modal besar atau keputusan berani, tapi harus dimulai dari pemahaman yang benar.
Kita hidup di zaman serba cepat. Informasi datang silih berganti. Testimoni cuan berseliweran tiap hari, membuat banyak orang ingin segera meniru, tanpa sempat menganalisis. FOMO menanam benih panik dalam benak: takut ketinggalan, takut kehilangan momen, takut disebut lambat. Tapi dalam dunia keuangan, langkah yang terlalu cepat tanpa strategi justru bisa membuat kita terjatuh lebih awal. Jangan biarkan keputusan finansial ditentukan oleh tekanan eksternal. Biarkan ia lahir dari pemahaman akan tujuan, kebutuhan, dan kapasitas pribadi.