Mohon tunggu...
Aishah Wulandari
Aishah Wulandari Mohon Tunggu... Freelancer - Writing for legacy

Belajar Belajar Belajar Instagram @aishahwulandari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Peluh di Antara Setangkup Cinta

4 Januari 2023   17:40 Diperbarui: 4 Januari 2023   17:44 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mbok Ni melangkahkan kaki pelan-pelan, bahunya memanggul tongkat kayu yang menggantungkan dua buah timba berisi air. Menapaki jalan berkerikil, di kanan kirinya pohon telah meranggas. 

Musim kemarau selalu seperti ini, memaksa warga Desa Ujung untuk mengambil air di sumur yang letaknya di tengah hutan jati. Berpuluh tahun dia menghabiskan hidup di desa kelahirannya, tetapi saat kemarau tiba bahu ringkihnya akan dibebani beratnya pikulan dan sepasang timba. 

Tuhan, sampai kapan bahuku mampu menahan beban seperti ini. Padahal hidupku sudah berat. Mbok Ni tersenyum, menertawai dirinya sendiri.

Baca juga: Derai Pilu Erli

"Ni, mengapa kamu tersenyum sendiri? Hati-hati kalau ada makhluk halus lewat ... hiiiii!" 

Tiba-tiba terdengar suara berat seorang lelaki muncul di samping Mbok Ni yang tengah menertawai hidupnya. Wajah lelaki itu terlihat cengengesan. Menyebalkan sekali, batin Mbok Ni menatapnya dengan mengerutkan kening.

"Opo, Man? Lebih bagus 'kan bisa menertawai diri sendiri daripada ditertawakan orang lain. Kamu itu sukanya mengagetkan. Mana makhluk halus? Paling juga kamu," tukas Mbok Ni melotot pada Paiman yang cengar cengir.

Baca juga: Senja Tak Lagi Lara


"Ni, sampean dapat undangan rapat dari Pak RW nggak? Nanti sore ada meeting di balai RW."

 "Hahahaha ... Man, Man. Bahasamu itu lho gaya sekali. Mee-ting. Memang kamu tahu artine meeting itu apa?" olok Mbok Ni. Paiman celingukan mendapat serangan balik dari Mbok Ni.

"Ya tahulah Ni ... Ni! Aku ngomong berarti tahu artinya. Meeting itu rapat. Paham kamu?" balas Paiman sinis.

Mbok Ni mengulum senyum, menertawakan Paiman yang tidak pernah mau dianggap tidak mengerti. 

"Meeting habis magrib 'kan? Memangnya mau bahas hal penting apa, Man?"

Mbok Ni menatap wajah kecoklatan Paiman. Jikalau Paiman tidak kepanasan mungkin kulitnya putih. Sekarang saja kulitnya terlihat coklat kemerahan, meskipun setiap hari pergi ke sawah, mencari rumput untuk kambing dan sapi peliharaannya. Paiman adalah teman sepermainannya semenjak kecil, juga teman beradu mulut.

"Aku nggak ngerti mengapa kamu melihatku? Memang di wajahku ada apanya atau apa adanya?" gurau Paiman. 

Terik mentari disertai beban dipunggung membuat wajah dan tubuhnya sudah dialiri butiran keringat, seringkali tangannya mengusap peluh. Paiman sedang memanggul keranjang berisikan rumput untuk makanan peliharaan di bahu kekarnya.

Mbok Ni hanya menggeleng, malas melanjutkan obrolan dengan Paiman. Perjalanan di tengah terik mentari kembali sunyi. Namun Mbok Ni memecah kesunyian dengan kesahnya.

"Man, kapan ya desa kita ini punya saluran air sendiri seperti di kota. Rasanya capek kalau setiap kemarau harus seperti ini. Memang yang mengalami tidak hanya aku, tetapi sebagian warga desa," keluh Mbok Ni dengan suara agak tersengal. 

Meskipun selama ini ada saluran air ke rumah-rumah, tetapi tidak mampu mengatasi kebutuhan air. Mengalirnya bergantian dan jadwalnya seminggu sekali, belum lagi kalau ada orang lain yang menyerobot jatah air mereka. 

Saat kemarau tiba, warga harus bersiap jiwa dan raga seperti yang dia lakukan sekarang. Mbok Ni berhenti sejenak, mengatur napas yang sedikit tersengal. Jemari tangan yang berbalut kapalan mengusap keringat di dahi. 

Terasa kasar sekali tanganku, batin Mbok Ni. Dia meraih selendang yang tersampir di bahu, kembali menyeka tetesan peluh.

"Dari jaman kecil sampai bersuami, kok ya belum ada perkembangan. Semuanya masih di tempat yang sama," lanjut Mbok Ni lagi sambil meletakkan timbanya. 

Suaranya sedikit engap-engap. Mengembuskan napas kasar, dia melepaskan rasa penat yang mendera. Wajahnya menunjukkan kelegaan ketika memandang rumahnya telah terlihat di ujung netra.

"Bukannya sudah ada sumur desa dekat rumahmu. Mengapa kamu tidak ambil dari situ? Mengapa harus jauh-jauh ke hutan?" gerutu Paiman yang tidak mendapatkan jawaban dari Mbok Ni. 

Paiman melihat temannya mengangkat kembali timba ke bahu. Dia ingin membantu, tetapi beban di bahunya tidak kalah berat dengan air yang dipikul Mbok Ni. Mereka melanjutkan perjalanan yang tinggal sejengkal.

"Akhirnya kamu sampai di rumah juga, Ni. Man, mampir dulu. Aku juga baru sampai," ucap Karjo suami Mbok Ni.

"Aku nggak habis pikir sama kamu. Istrimu kamu biarkan ambil air sendirian di hutan. Memang kamu dari mana saja? Dimana hatimu, Jo?" omel Paiman.

Karjo menggelengkan kepala, prihatin mendengar kalimat Paiman yang suka mengambil kesimpulan sendiri. Kapan kamu berubah, Man, keluh Karjo membatin.

"Pak, jangan lupa nanti rapat di balai RW." 

Mbok Ni mengingatkan sang suami. Dia menaruh bawaannya, lalu beranjak menyandarkan tubuh penatnya di kursi bambu di bawah pohon mangga yang belum berbuah.

 "Alhamdulillah, selesai juga," gumam Mbok Ni sembari memejamkan mata dan mendengarkan perdebatan dua orang lelaki yang dikenalnya semenjak kecil.

"Memangnya kamu tahu alasan mengapa istriku sendirian mengambil air? Jangan asal menyimpulkan sendiri sesuatu yang kamu tidak tahu. Bahaya itu, Man," sahut Karjo kesal. 

"Ni, kamu istirahat dulu atau langsung mandi?" 

Karjo mendekati sang istri. Dia segera mengambil alih timba di samping dipan bambu, dibawanya ke belakang. Netranya berkaca-kaca melihat tandon persediaan air sudah penuh semua. 

'Maafkan aku, Istriku. Kalau bukan karena urusan penting, aku tidak akan membuatmu menderita,' batin Karjo. 'Tunggu sebentar lagi, Istriku Sayang.' 

Dari belakang rumah dia menatap Mbok Ni sedang merebus air untuk tamu istimewa mereka. Karjo menggelengkan kepala, heran dengan sang istri yang tiada penat.

"Biarkan aku yang membuat kopi untuk Paiman. Lebih baik kamu istirahat." Lembut suara Karjo menyusup indra pendengar Mbok Ni, dia meraih gelas di tangan sang istri, lalu membuat secangkir kopi dan teh.

"Ni, kamu minum teh hangat ini biar tenagamu pulih," ucap Karjo seraya membawa secangkir kopi untuk Paiman yang masih setia menunggu di teras rumah.

Mbok Ni menyeruput teh hangat buatan suaminya, menyusul ke teras. Tangannya membawa setoples kerupuk untuk camilan tamu istimewa yang setiap sore selalu meluangkan waktu untuk mengeluarkan aksara dari pikirannya.

"Ni, kamu temani Paiman sebentar." Karjo bergegas ke dapur, dia hampir lupa kalau ingin merebus air untuk mandi sang istri. 

* * *

"Jo, tadi malam Pak RT mengatakan akan ada saluran air. Tapi ya gitu, tiap bulannya warga harus bayar," tutur Paiman sedikit menggerutu. 

Saat arunika baru menyembul dari balik bumantara, Paiman sudah mengepulkan asap dari bibir hitamnya di bawah pohon mangga, depan rumah Mbok Ni.

"Man ... Man. Pagi-pagi kamu sudah ngobral asap dan omongan disini. Apa kamu tadi malam tidak tidur? Apa yang kamu pikirkan hanya air dan air saja? Kamu kok seolah-olah tidak menerima adanya program saluran air desa. Ingat, Ini demi seluruh warga," omel Mbok Ni sambil menyuguhkan secangkir kopi dan ketela rebus untuk suaminya dan Paiman. 

Walaupun Mbok Ni kesal dengan omongan Paiman yang terkadang melantur, tetapi masih saja dia menghidangkan kopi pahit untuk Paiman. Sementara suaminya masih mendekam di jamban. 

 "Bukannya tidak terima, tapi kita dibebani biaya pemakaian air setiap bulan, Ni," cetus Paiman.

"Sekarang kamu pilih mana, setiap bulan bayar biaya air tetapi tidak harus sengsara kekurangan air. Atau tidak membayar tapi konsekuensinya setiap kemarau warga harus pergi jauh mencari air," tukas Mbok Ni menatap tajam Paiman.

"Iya kamu sudah punya sumur sendiri, tidak merasakan susahnya mencari air seperti aku. Tidak perlu menguras keringat untuk setimba air. Apakah kamu tidak berpikir orang lain di sekitarmu yang belum mempunyai sumur?" celoteh Mbok Ni, dia berusaha agar pikiran Paiman terbuka.

"Tidak seperti itu, Ni. Aku ...." Suara Paiman terputus oleh cecaran Mbok Ni.

"Apa? Kamu masih berkelit demi kepentingan bersama? Apa ini bukan demi kepentinganmu sendiri? Memang kamu mengerti apa yang dipikirkan orang-orang?" cecar Mbok Ni lagi. 

"Bukankah bayar bulanan air tergantung pemakaian?" lanjut Mbok Ni lagi.

Karjo menghampiri sang istri dan temannya. Dia mendengarkan perdebatan mereka yang terus berlanjut, tetapi tidak berniat menghentikan. Pemandangan seperti ini hampir tiap hari dia temui. 

Bahkan semenjak mereka tumbuh bersama. 'Aku ingin tahu siapa yang akan memenangkan argument ini, apakah istriku akan menang lagi,' batin Karjo.

"Apa jawabanmu, Min? Kamu bisa saja mengumbar omongan sama orang lain untuk tidak menyetujui pembangunan saluran air atau apalah itu. Tapi jangan pernah pengaruhi aku. Kamu tidak tahu betapa capeknya harus mengusung air dari tempat yang jauh," bantah Mbok Ni.

"Tidak hanya kamu Ni yang mengalami, aku pun pernah," ujar Paiman sabar sambil menyeruput kopi yang terasa sangat pahit, seperti tanpa gula. 

'Tidak seperti biasanya, apa Mbok Ni sengaja,' tanya Paiman dalam hati, tetapi dia tidak bermaksud menanyakan padanya.

Mbok Ni tersenyum tipis sekaligus sinis melihat reaksi Paiman saat minum kopi yang sengaja tidak dia beri gula. 'Memang hanya mulutmu saja yang pahit, rasakan itu pahitnya kopi.'

"Kalau tahu rasanya tidak enak kekurangan air, mengapa kamu masih saja memengaruhi orang-orang? Kamu ini sukanya mengobral omongan tanpa makna," cibir Mbok Ni.

"Memang kenapa? Mulut ... mulutku, bukan juga mulutmu atau mereka. Walaupun rasa kataku pahit yang tahu rasanya pahit aku sendiri. Bukan kamu. Lagian juga terserah mereka setuju atau tidak dengan omonganku," ketus Paiman

"Aku tidak habis pikir sama kamu, ya. Mengumbar omongan kesana kemari. Apa kamu tidak capek menjual tong kosong?" geram Mbok Ni.

"Kalian berdua sampai kapan akan menghentikan adu mulut? Kamu juga Man, apa tidak capek? Tadi malam, pagi ini, belum lagi bertikai dengan hati dan pikiranmu." Perlahan Karjo masuk dalam argumen yang tidak akan berhenti jika dia tidak menghentikannya. 

Dia menatap dua paras yang setiap hari bertatap muka dengannya dan sudah dikenal akrab semenjak bocah. Istrinya yang selalu menyuarakan hati jika sudah menyentuh batas toleransinya. Paiman yang selalu mengumbar aksara tanpa makna kemana-mana. Karjo mengembuskan kasar nafasnya.

Paiman tidak perduli dengan kalimat Karjo. Dia sedang berusaha keras menelan habis seruputan terakhir kopi yang dihidangkan oleh tuan rumah, walau dia harus berupaya keras menelan pahitnya. 'Keterlaluan sekali,' gerutu Paiman di kedalaman hatinya. 

Dia tidak mampu menyuarakan pahit yang dia rasakan.

"Man, lihat. Istri kamu nyusul," celetuk Karjo. Terlihat dari jauh seorang wanita berbaju motif bunga kuning berjalan sedikit tertatih.

"Buat apa kamu menyusulku? Sebentar lagi aku pulang," ujar Paiman saat sang istri menghampiri.

"Sebentar lagi-sebentar lagi. Kamu mau bilang sebentar lagi sama sapi dan kambingmu yang sudah berteriak kelaparan dari tadi. Risih telingaku, Kang," hardik istrinya.

"Tapi aku belum dapat rumput, War," lirih Paiman.

"Kamu kemana saja? Pamit semenjak pagi sampai beduk zuhur belum dapat rumput? Sudah berapa banyak kamu membuang ludah dan asapmu?" omel Mbok War sembari tangannya menjewer telinga Paiman dan menariknya pulang.

"Apa-apaan kamu, War! Malu dilihat Karjo dan Mbok Ni," geram Paiman. Tangannya berusaha melindungi telinga yang sudah dalam cengkeraman tangan kasar sang istri. Namun, Mbok War yang sudah terlingkupi amarah tidak mempedulikan gerutuan Paiman.

Karjo dan Mbok Ni tidak mampu menahan tawa, tetapi mereka menahannya demi harga diri lelaki seorang Paiman. Mereka pun tertawa lepas saat bayangan sepasang istri menjewer suami tidak terlihat lagi.

"Permisi, Kang Karjo."

Karjo menghentikan tawa saat mendengar namanya dipanggil. Istrinya sudah berjalan mendekat lima orang lelaki sebaya sang suami.

"Eh, Kang Yatno. Mari saya antar ke belakang." 

Tidak memperdulikan rasa heran Mbok Ni, Karjo membawa kelima tamunya ke halaman belakang. Mbok Ni mengikuti tanpa ada keinginan bertanya, dia hanya menyimpan rasa ingin tahunya. Salah seorang tamu memandang sekeliling pekarangan belakang dan sesekali mengetuk permukaan tanah.

"Lebih baik di sebelah sini, Kang. Karena tanahnya lebih mudah untuk digali, kualitas air-nya pun lebih bagus. Kalau yang dekat pohon pepaya, menggalinya harus lebih dalam dan tanahnya berlumpur," papar Kang Yatno.

"Terserah Kang Yatno saja yang lebih tahu. Mulai kapan pekerjaannya?" tanya Karjo.

Mbok Ni mulai menangkap maksud kalimat-kalimat yang keluar dari kedua lelaki itu. 'Apakah suamiku hendak membuatkan aku sebuah sumur?' 

Netra Mbok Ni berkaca-kaca menatap sosok tinggi nan ramping yang selalu menenangkannya saat dia marah. Lelaki tanpa banyak aksara, tetapi lebih banyak bertindak. Terima kasih Gusti, Engkau berikan lelaki yang begitu baik hati.

Karjo menghampiri Mbok Ni, memberikan senyum paling indah. 

"Bahumu tidak akan kubiarkan lelah, Ni," bisik Karjo. Mbok Ni mengangguk, suaranya tercekat, tidak sanggup mengalirkan sepatah aksara. Keduanya saling menatap hangat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun