Mohon tunggu...
Aishah Wulandari
Aishah Wulandari Mohon Tunggu... Freelancer - Writing for legacy

Belajar Belajar Belajar Instagram @aishahwulandari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Peluh di Antara Setangkup Cinta

4 Januari 2023   17:40 Diperbarui: 4 Januari 2023   17:44 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mbok Ni menatap wajah kecoklatan Paiman. Jikalau Paiman tidak kepanasan mungkin kulitnya putih. Sekarang saja kulitnya terlihat coklat kemerahan, meskipun setiap hari pergi ke sawah, mencari rumput untuk kambing dan sapi peliharaannya. Paiman adalah teman sepermainannya semenjak kecil, juga teman beradu mulut.

"Aku nggak ngerti mengapa kamu melihatku? Memang di wajahku ada apanya atau apa adanya?" gurau Paiman. 

Terik mentari disertai beban dipunggung membuat wajah dan tubuhnya sudah dialiri butiran keringat, seringkali tangannya mengusap peluh. Paiman sedang memanggul keranjang berisikan rumput untuk makanan peliharaan di bahu kekarnya.

Mbok Ni hanya menggeleng, malas melanjutkan obrolan dengan Paiman. Perjalanan di tengah terik mentari kembali sunyi. Namun Mbok Ni memecah kesunyian dengan kesahnya.

"Man, kapan ya desa kita ini punya saluran air sendiri seperti di kota. Rasanya capek kalau setiap kemarau harus seperti ini. Memang yang mengalami tidak hanya aku, tetapi sebagian warga desa," keluh Mbok Ni dengan suara agak tersengal. 

Meskipun selama ini ada saluran air ke rumah-rumah, tetapi tidak mampu mengatasi kebutuhan air. Mengalirnya bergantian dan jadwalnya seminggu sekali, belum lagi kalau ada orang lain yang menyerobot jatah air mereka. 

Saat kemarau tiba, warga harus bersiap jiwa dan raga seperti yang dia lakukan sekarang. Mbok Ni berhenti sejenak, mengatur napas yang sedikit tersengal. Jemari tangan yang berbalut kapalan mengusap keringat di dahi. 

Terasa kasar sekali tanganku, batin Mbok Ni. Dia meraih selendang yang tersampir di bahu, kembali menyeka tetesan peluh.

"Dari jaman kecil sampai bersuami, kok ya belum ada perkembangan. Semuanya masih di tempat yang sama," lanjut Mbok Ni lagi sambil meletakkan timbanya. 

Suaranya sedikit engap-engap. Mengembuskan napas kasar, dia melepaskan rasa penat yang mendera. Wajahnya menunjukkan kelegaan ketika memandang rumahnya telah terlihat di ujung netra.

"Bukannya sudah ada sumur desa dekat rumahmu. Mengapa kamu tidak ambil dari situ? Mengapa harus jauh-jauh ke hutan?" gerutu Paiman yang tidak mendapatkan jawaban dari Mbok Ni. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun