Reformasi 1998 pernah menjanjikan harapan baru yakni negara hukum yang demokratis, berdaulat, dan berpihak pada rakyat. Namun, dua dekade lebih berlalu, janji itu semakin jauh dari kenyataan. Setiap kali rakyat menjerit karena kebijakan yang tidak adil, suara-suara di parlemen justru terdengar sayup, atau bahkan berbalik menjadi alat legitimasi kekuasaan. Bukan rahasia lagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lebih sering menjadi dalang tersanderanya reformasi hukum daripada menjadi pengawal konstitusi.
Beberapa pekan lalu, publik dihebohkan dengan tunjangan Wakil Rakyat melunjak drastis dengan akumulasi bisa 3 juta/hari. Tentu ini menjadi kemarahan publik ditengah efisiensi anggaran justru pemerintah malah menaikkan gaji wakil rakyat. Disaat rakyat menjerit dengan kenaikan pajak, apa kabar Negara Demokrasi?. Kemarahan publik tak terbendung bahkan banyak yang menginginkan Lembaga ini dibubarkan. Hal tersebut langsung mendapat respon dari salah satu komisi DPR, yang lebih mengejutkan adalah statement yang dibawa adalah "yang menginginkan DPR dibubarkan adalah manusia tertolol sedunia". Dalam etika hukum, tidak sepantasnya seorang wakil rakyat mengatakan hal tersebut. Karena tanpa dipungkiri mereka sebelumnya jadi karena rakyat. Pada hakikatnya Rakyat tetap memiliki daulat tertinggi sesuai dengan paham yang dianut Indonesia sebagai Negara Demokrasi.
Kemarahan RakyatÂ
Gelombang protes rakyat semakin membeludak, ketika salah satu ojol tewas dilindas Mobil satuan Brimob pada tanggal 28 Agustus kemaren saat terjadi aksi dengan menuntut DPR untuk terbuka dan memberikan keterangan dan kejelasan kepada publik. Tapi, kenyataannya, gerbang senayan tetap tertutup yang menunjukkan betapa jurang antara rakyat dan DPR semakin lebar. Alih-alih mewakili aspirasi, DPR justru menjadi mesin pengesah kebijakan yang lahir dari kepentingan oligarki. Tidak heran jika rakyat merasa marah, kecewa, bahkan muak dengan lembaga yang seharusnya mereka percaya. Ironisnya, setiap kali kritik dilontarkan, DPR berlindung di balik jargon "representasi rakyat" padahal realitas di lapangan menunjukkan representasi itu hanya sebatas formalitas lima tahun sekali saat pemilu. Selebihnya, rakyat hanyalah angka di bilik suara yang segera dilupakan.
Setelah menelan korban dari aksi kemarin, pemerintah seharusnya jangan playing victim dengan menjadi provokator antara Lembaga Kepolisian dan Rakyat. Sangat disayangkan, Ketua DPR justru malah mengeluarkan statement untuk memperkeruh keadaan antara oknum kepolisian dengan rakyat. Padahal, aktor utama disini adalah legislatif (DPR). Jangan lupa bahwa kegaduhan negara terjadi karena tingkah wakil rakyat. Salah satu alasan Indonesia belum maju, karena banyak pejabat-pejabat yang korup. Faktanya, DPR selalu membuat UU yang cukup kontroversial dan dinilai tidak merepresentasikan kehendak rakyat. Justru UU yang menjadi urgent malah dihiraukan salah satunya adalah UU Perampasan Aset. Kesejahteraan rakyat tersandera, sedangkan wakil rakyat Sejahtera.
DPR Aktor Utama
Mandeknya reformasi hukum bukan sekadar soal lemahnya institusi yudisial atau eksekutif, melainkan juga karena DPR berperan sebagai dalang utama. Parlemen memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun fungsi itu telah diperdagangkan dalam politik transaksional. Undang-undang yang lahir lebih banyak menguntungkan segelintir elit ekonomi dan politik dibanding memperkuat keadilan sosial.
Lalu, apakah bisa DPR dibubarkan? Jawabannya adalah bisa asal Konstitusi segera diamandemen. Jika melihat Pasal 7C UUD NRI 1945 yang menjelaskan bahwa: "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat." Dalam sistem presidensial Indonesia bersifat permanen selama masa jabatannya. Jika konstitusi diamandemen dengan mengubah pasal tersebut bisa Lembaga permanen ini dibekukan. Misalnya sistem parlementer di Inggris di mana Perdana Menteri bisa mengusulkan pembubaran parlemen.
Kemudian, persoalan sistem ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang tertuang dalam UU Pemilu memperparah situasi. Aturan itu menyingkirkan partai-partai kecil, organisasi rakyat, maupun serikat buruh dari gelanggang politik. Akibatnya, suara rakyat tidak benar-benar terwakili. Yang tersisa hanyalah partai besar yang berkompetisi dalam lingkaran oligarki.
Dewan Rakyat Tanpa Parliamentary Threshold
Jika DPR terus menjadi sumber masalah, maka keberadaannya harus dikaji ulang. Alternatif yang ditawarkan adalah mengganti DPR dengan Dewan Rakyat sebuah badan legislatif yang benar-benar mencerminkan keragaman politik masyarakat. Dalam Dewan Rakyat, parliamentary threshold yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2017 harus dihapuskan. Semua partai, organisasi, maupun serikat berhak mengajukan wakilnya. Dengan demikian, suara minoritas tidak lagi dimatikan, dan rakyat kecil memiliki saluran politik yang setara dengan kelompok besar. Keberagaman representasi ini akan memaksa sistem hukum lebih responsif, lebih akuntabel, dan tidak mudah disandera oleh segelintir elit. Mengutip dari apa yang dikatakan salah satu filsuf dunia Plato bahwa demokrasi adalah bentuk negara terburuk karena mudah mengarah pada ke berbagai penyalahgunaan, kekacauan dan tirani yang tertuang dalam bukunya Georgias.