Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terlalu Cinta

15 Maret 2020   17:59 Diperbarui: 12 Januari 2022   08:04 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini adalah kunjunganku ke lima puluh enam. Saat tiba di sini tiga puluh menit yang lalu, aku segera duduk di bangku kayu bercat putih. Buku fiksi yang dari tadi ada dalam genggamanku tertutup sempurna. Pemandangan sekelilingku lebih menarik dari pada buku itu. Bagaikan masuk ke dunia magic, kedua netraku selalu takjub menyaksikan para pengunjung. Padahal bila diingat, ketika pertama kali singgah, aku merasa risih untuk berbaur dengan mereka. Bagaikan memakai jubah besi tak kasat mata, aku dalam keadaan siaga tingkat tinggi duduk mematung dan jika ada orang lain duduk di sebelahku, jantungku berdenyut tak karuan. Namun, pada kunjungan ketiga atau empat kali, sang Pencipta nampaknya membukakan sedikit mata hatiku, aku menyadari bahwa berada di taman ini, dikelilingi bahkan berinteraksi dengan pengunjung taman sungguh mengesankan.

Lima belas menit yang lalu contohnya, datang pria bermata cekung. Dia duduk di sebelahku sambil menyodorkan cokelat batangan yang masih terbungkus kertas rapi dan berkata, "Cokelat ini paling enak sedunia." Aku memperhatikan wajahnya. Melihatnya tersenyum ramah, aku pun tersimpul.

"Cokelat ini diproduksi dengan bahan-bahan berkualitas, jangan khawatir. Sangat enak!"

Mendengar penjelasannya, aku memasang wajah takjub. Dia tersenyum lebar. Tangan yang menggenggam cokelat itu mengayun pelan ke arahku. Tanpa keraguan, kuterima cokelatnya. Setelah bungkusnya terbuka, aku segera membuat satu gigitan besar, mengunyahnya penuh kegirangan, berusaha sekuat tenaga menunjukkan ekspresi senang seperti anak kecil.

"Wah, ini pertama kalinya saya makan cokelat seenak ini. Terima kasih sudah mengenalkan saya dengan makanan selezat ini!" Ia mengangguk, tersenyum puas kemudian pergi begitu saja.

Beberapa menit setelah lelaki itu menghilang, seorang wanita muda duduk di sebelahku. Paras cantiknya nampak bahagia. Sebelah tangannya terangkat setinggi telinga. Meski rambut panjangnya terurai dan sempurna menyembunyikan tangan yang mengepal itu, aku tahu dia sedang menelepon.

"Ya, aku pulang dua minggu lagi. Oh, aku pulang hari Rabu." Kepalanya mengangguk sesekali. Kemudian berucap lagi, "Aku pulang sekarang. Mama, tunggu aku ya! Aku pulang!" Senyumnya merekah seraya menghentakkan kedua kaki di rerumputan. Kakak itu pergi mengabaikan kehadiranku.

Setelah itu, aku terpaku. Bergulat dengan pikiran yang terbit di dalam kepalaku akibat kehadiran orang-orang tersebut hingga sebuah suara yang familiar menginterupsi runguku. Aku menoleh dan terfokus pada satu titik yang berjarak tiga meter di sebelah kanan. Dari beragam aktivitas para pengunjung yang bermakna, ada satu kisah di taman ini yang menjadikan tokohnya sebagai pemeran utama. Kakakku, Mbak Nur.

Satu tahun yang lalu, Mbak Nur telah menjadi seorang ibu. Seperti ibuku yang menyayangiku dan kakakku, Mbak Nur adalah orang tua yang sangat menyayangi putrinya. Tidak sedetik pun dia rela berjauhan dengan buah hati tercinta. Bayi itu selalu ada dalam dekapan dan dihujani kasih sayang. Sembari menimang, Mbak Nur bersenandung. Ibu kami yang duduk di sampingnya turut mendengarkan sambil tersenyum.Tapi, aku selalu dirundung perasaan aneh. Bayi Mbak Nur memiliki perkembangan yang sangat lambat. Jadi, suatu ketika aku berkata padanya tepat di hari ulang tahun putrinya.

"Bayimu aneh, Mbak! Jangan terlalu memanjakannya nanti dia jadi semakin aneh!"

Tentu saja Mbak Nur langsung menatapku dingin. Ibu mencubit pinggang kiriku. Aku tidak merasa bersalah apa lagi mengucap maaf. Aku justru kembali berucap, "Anak usia satu tahun harus sudah bisa ngomong, memanggil mama papanya. Bahkan beberapa bayi pada usia segitu ada yang sudah bisa berjalan. Setidaknya merangkak dan aktif mengoceh. Tapi coba lihat bayimu, tengkurap saja belum bisa!"

Plak!

Botol susu kosong mendarat di dahiku. Mbak Nur marah dan tidak mau bertemu denganku. Aku tidak diizinkan menyentuh, bahkan melihat si bayi. Sejak itu, aku duduk terpisah dari mereka ketika menghabiskan waktu di taman. Sejak itu pula, aku melihat sisi lain yang tak kusadari dari Mbak Nur sebelumnya. Senyum yang teramat indah saat ia sedang berinteraksi dengan bayinya. Meskipun bayi itu tidak merespon seperti yang kuharapkan, kebahagiaan kakakku terpancar dari sorot matanya. Karena itu, setelah tiga minggu diacuhkan, aku menghampiri Mbak Nur yang sedang menggendong bayi.

"Bayimu anak yang pintar dan nggak rewel. Dia juga cantik seperti mamanya," lirihku pelan. Mbak Nur menatapku tanpa ekspresi. Aku mengukir senyum dan membalas tatapannya dengan tulus.

"Maafkan aku."

Mbak Nur terdiam satu menit dan akhirnya mengangguk padaku. Dia lalu memintaku menggendong bayinya dan mengajariku cara menimang. Meskipun demikian, aku tetap memutuskan untuk duduk terpisah dari Ibu dan Mbak Nur saat di taman. Aku lebih senang dan nyaman menyaksikan mereka dari tempatku saat ini. Memperhatikan dua orang ibu yang luar biasa, yang sabar dan penuh cinta merawat anak, sikap teladan untuk diriku agar kelak menjadi orang tua yang menyayangi anaknya, dalam keadaan apapun. Suatu hal yang sangat kontra dengan berita yang kubaca di media massa beberapa waktu lalu.

Sebuah suara merasuk ke dalam pendengaranku lagi. Aku meraih ponselku yang menyala. Tertulis nama ‘Mas Edo’ di layar itu.

"Ada di mana? Tempat biasa, kan? Aku baru sampai," ucap kakak iparku segera saat aku menyapa panggilannya. Suaranya bergetar dan napasnya terdengar walau samar-samar.

"Iya, Mas. Dekat ayunan ya. Nggak perlu lari-lari, cukup jalan santai." Aku terkekeh. Telepon berakhir.

Tidak ada lima menit, aku melihat kehadirannya dari sudut taman menghampiri Mbak Nur dan Ibu dengan cara berlari. Tiba waktunya untukku menggabungkan diri.

"Sudah dibilang nggak usah lari-lari, nggak bakal telat juga!" ujarku. Mas Edo hanya nyengir.

"Ibu juga sudah bilang lho sama masmu, Ra, nggak perlu datang. Istirahat saja di rumah karena pasti capek baru pulang tugas ke luar kota," sahut ibu.

"Ya nggak bisa begitu, masa urusan pekerjaan Edo perhatikan, tapi istri sendiri nggak diperhatiin," jawab kakak ipar seraya mengulum bibir dan merangkul bahu Mbak Nur.

Mbak Nur menyerahkan bayinya ke dalam pelukan Mas Edo. Laki-laki itu menyambutnya dengan riang gembira. Ia mencoba menanggapi tingkah istrinya dengan suka cita. Menyaksikan itu, Ibu nampak bahagia. Aku kagum dan miris secara bersamaan.

Seorang perawat datang menghampiri kami, pertanda bahwa sudah waktunya untuk bertemu psikiater. Mas Edo segera menyerahkan bayi Mbak Nur padaku dan terfokus menuntun istrinya berjalan beriringan mengikuti langkah perawat, sementara Ibu mengekor di belakang mereka. Langkah Ibu sempat terhenti dan berbalik menatapku.

"Kamu nggak ikut?"

Aku menggeleng. "Nggak, Bu, Zahra tunggu di sini saja."

"Ya sudah. Jangan melamun ya!"

Aku mengangguk dan menyaksikan semuanya berjalan berbelok ke suatu ruangan. Setelah mereka masuk ke dalam, aku duduk kembali di bangku kayu bercat putih, mendekap sebuah boneka berbalut pakaian bayi yang menawan.

Mbak Nur seharusnya menjadi wanita paling bahagia di dunia satu tahun lalu. Aku membayangkan hidupnya pasti akan sempurna sebagai seorang istri dan ibu. Tapi keponakanku—cucu pertama ibuku—tidak dapat diselamatkan akibat mengalami kegagalan pernapasan beberapa jam setelah dilahirkan. Tangis kakakku pecah memilukan. Dia mengurung diri di kamar, tidak mau bicara, tidak nafsu makan, tidak tidur semalaman. Esok paginya, Ibu melihat Mbak Nur sedang mengobrol asik dengan batal. Tingkahnya yang aneh memaksa kami untuk membawanya ke dokter ahli kejiwaan. Dan setelah itu, tangis Mas Edo yang pecah karena harus merelakan Mbak Nur tinggal di rumah sakit jiwa dan hidup terpisah dengannya. Namun, keluarga kami menerima kepahitan itu dengan lapang dada dan tetap menjalan hidup sebagaimana mestinya.

Aku semula tidak dapat mengerti, bagaimana bisa rasa kehilangan dapat merenggut akal sehat. Namun, kurasa aku mulai belajar seiring waktu yang terus berjalan. Ritual rutin berupa kunjungan hari Minggu yang kulakukan, membuatku menyadari bahwa perasaan yang terlalu dalam dan tidak tersampaikan menjadi alasan kakakku serta pasien lainnya tinggal di sini. Seperti rasa kecewa terlalu dalam yang dialami pria bermata cekung akibat usahanya gulung tikar, rasa bersalah kakak berparas cantik karena sibuk dengan pekerjaan dan jarang pulang hingga ibunya tiada. Mbak Nur pun terlalu mencintai putrinya yang belum sempat dibawa pulang ke rumah. Terlalu dalam rasa cinta itu hingga membawanya pada angan bahagia dan mengaburkan jalan pikirannya. Perasaan seperti itu, akhirnya dapat kupahami di usiaku yang ke-19.

 

Kini aku justru tidak dapat mengerti, jika Mbak Nur dapat memiliki cinta hingga seperti itu pada putrinya, mengapa ada ibu yang tega mengabaikan buah hatinya?

Meskipun saat ini kakakku hidup dalam dunianya, meskipun hidupnya gagal sempurna menjadi ibu dalam realita, meskipun ia tidak memiliki bayi bernyawa seperti ibu lain pada umumnya, ada satu hal yang dimiliki Mbak Nur dan membuatnya lebih baik dibanding mereka yang bertindak tercela terhadap anaknya. Kakakku, Mbak Nur masih memiliki hati nurani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun