Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Psikologi di Balik Boneka Beruang Kesayangan Anda

12 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 7 Oktober 2025   18:23 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Teddy Bear.(DOK via Kompas.com)

Banyak orang punya boneka beruang. Benda kecil ini sering terasa spesial. Bukan sekadar mainan.

Kita biasanya menarik garis ke satu cerita lama tentang Presiden AS Theodore Roosevelt. Saat ikut perburuan, ia menolak menembak seekor beruang yang tampak tak berdaya (History.com).

Kisah itu lalu digambar oleh seorang kartunis dan memicu ide seorang pemilik toko. Lahirlah nama "Teddy's Bear"

Tapi benarkah itu satu-satunya alasan kita dekat dengan boneka beruang? Rasanya tidak.

Cerita tersebut lebih mirip langkah pemasaran yang cerdas untuk zamannya. Ikatan kita pada boneka jauh lebih dalam dari sekadar nama.

Kekuatan boneka beruang bukan pada sebutannya. Yang membuatnya bertahan adalah rasa nyaman saat dipeluk.

Ada rasa aman yang muncul, meski sulit dijelaskan dengan kata-kata. Psikologi punya jawabannya. Salah satunya lewat teori objek transisional yang diperkenalkan D. W. Winnicott, seorang psikolog anak yang brilian (Simply Psychology).

Menurutnya, anak-anak sering mengandalkan benda tertentu, entah selimut atau boneka, untuk menenangkan diri. Benda itu membantu mereka menghadapi cemas ketika belajar mandiri, terutama saat berpisah dari orang tua.

Di momen itu, boneka jadi teman pengganti. Semacam jembatan emosi yang menghubungkan rasa aman dari ibu dengan dunia di luar.

Ada penjelasan lain yang tak kalah penting. Manusia punya kecenderungan alami untuk memberi sifat manusia pada benda. Fenomena ini disebut antropomorfisme (Britannica).

Lihat saja wajah boneka beruang. Sederhana sekali.

Dua mata, hidung, mulut. Justru desain minimalis ini yang jadi keunggulannya.

Wajahnya bagaikan kanvas kosong untuk imajinasi. Kita mudah membayangkan berbagai emosi di sana.

Seakan-akan ia ikut berempati, ikut tersenyum, ikut sedih. Ia jadi teman curhat yang ideal.

Selalu "mendengarkan" tanpa menghakimi. Karena itu boneka terasa begitu personal, seolah hidup.

Manfaatnya juga nyata, bukan hanya rasa-rasa. Dalam dunia terapi, boneka beruang punya tempat sendiri.

Di rumah sakit, ada program "Teddy Bear Hospital" yang membantu anak-anak kecil agar tidak terlalu takut menjalani prosedur medis.

Program seperti ini terbukti dapat menurunkan kecemasan mereka (National Library of Medicine).

Di sisi lain, terapi berbasis boneka juga efektif untuk kelompok lansia. Kehadirannya bisa meredakan gejala cemas dan rasa sepi, terutama pada penderita demensia (Alzheimer's Society UK).

Memeluk boneka memicu naluri merawat dan memberi kontak emosional yang konsisten.

Apakah semuanya selalu positif? Mungkin tidak. Keterikatan yang terlalu kuat bisa jadi masalah, terutama pada orang dewasa.

Kadang ini menandakan kesulitan membangun relasi sosial dengan manusia sungguhan. Sisi ini jarang dibicarakan karena orang cenderung fokus pada kisah yang manis dan menenangkan.

Mungkin kita terlalu fokus pada figur beruangnya. Bentuk beruang sebenarnya tidak wajib.

Banyak orang mendapatkan rasa nyaman dari boneka lain, bahkan dari bantal guling. Kuncinya justru ada pada tekstur.

Lembut, empuk, mudah dipeluk. Sentuhan itu memberi kehangatan fisik yang otak terjemahkan sebagai rasa aman.

Sebuah boneka lama yang tampak lusuh mungkin tidak menarik di mata orang lain. Namun bagi pemiliknya, nilainya tinggi sekali.

Boneka itu menyimpan album kenangan. Ikatan ini yang membuatnya tak ternilai.

Bukan karena cantik di luar, melainkan karena sejarah emosional yang menempel. Sejarah yang seperti tersimpan rapi di jahitannya. 

*** 

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun