Berita besar di Nepal pada September 2025 sebenarnya tidak datang tiba-tiba. Krisis itu lahir dari amarah publik yang menumpuk lama karena korupsi yang mengakar.
Demokrasi yang terus gagal memenuhi janji ikut menambah rasa muak. Perlahan tapi pasti, kepercayaan rakyat pada elite politik habis terkikis (Wikipedia, 2025).
Saat itu pemerintahan dipimpin Perdana Menteri KP Sharma Oli, politisi kawakan dari Partai Komunis Nepal (UML). Ia berangkat dari tradisi Marxis-Leninis dan pernah dipenjara 14 tahun karena gerakan anti-monarki (World Leaders Forum, 2024).
Namun banyak kritik menilai cara berkuasanya berseberangan dengan ideologi partai. CPN (UML) semestinya membela rakyat kecil, tetapi justru dianggap melayani kepentingan kelas borjuasi (CBS News, 2025).
Jadilah jurang kontradiksi yang dalam. Bagi sebagian elite, ideologi tampak hanya alat politik untuk menjaga kursi.
Kebijakannya pun kerap memicu kontroversi. Yang paling mencolok adalah keputusan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dua kali, pada Desember 2020 dan Mei 2021.
Para pakar hukum menyebut langkah itu bertentangan dengan konstitusi (Indian Express, 2025), dan Mahkamah Agung akhirnya membatalkan keduanya.
Oli juga mengambil alih kendali sembilan lembaga investigasi, termasuk lembaga antikorupsi dan intelijen. Gerak ini dipandang sebagai cara menekan lawan politik.
Ruang kebebasan berekspresi ikut menyempit, dengan jurnalis kerap dijerat Undang-Undang Transaksi Elektronik (CBS News, 2025).
Masalah sudah menggunung, lalu percikan datang dari fenomena Nepo Kids. Anak-anak pejabat pamer hidup mewah di media sosial.
Mobil mahal, liburan glamor, semua dipertontonkan. Bagi banyak warga Nepal, tontonan itu terasa menampar.