Fenomena rangkap jabatan kembali jadi sorotan. Banyak orang menilainya sebagai cermin tata kelola pemerintahan yang masih permisif. Seolah membiarkan konflik kepentingan tumbuh.
Sering kali praktik ini dibungkus dengan alasan efisiensi. Nyatanya lebih mirip cara mengakomodasi kepentingan politik.
Contoh yang paling terasa ada pada posisi Wakil Menteri. Sejumlah Wamen merangkap sebagai komisaris BUMN.
Situasi seperti ini wajar saja menimbulkan kekhawatiran besar. Karena menyentuh etika publik dan menabrak semangat tata kelola yang baik. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
Masalah dasarnya terletak pada batas peran. Garis antara tugas publik dan urusan pribadi menjadi kabur. Ketika dua dunia itu dijalankan sekaligus.
Di titik ini, kepentingan publik mudah tersisih demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Rangkap jabatan membuka tumpang tindih kepentingan sekaligus celah korupsi, sebagaimana diingatkan Asia Pacific Fraud Journal. Tata kelola yang sehat tidak memberi ruang untuk praktik seperti ini.
Isu rangkap jabatan juga bukan urusan sesaat. Ia berkelindan dengan persoalan struktural, termasuk pola revolving door, ketika pejabat berpindah dari sektor publik ke swasta.
Penelitian Archon Fung dan Dennis Thompson pada 2024 di jurnal Governance membedahnya lebih dalam. Mereka menunjukkan bagaimana pejabat bisa membuat keputusan hari ini yang menguntungkan perusahaan tertentu, sambil berharap posisi di masa depan.
Seolah ada pertukaran yang ditunda. Sekadar mengungkap konflik kepentingan tidak cukup, karena akar masalahnya berada pada posisi dan relasi kuasa yang membuka ruang barter kepentingan.
Perlu diingat, kursi komisaris BUMN bukan jabatan seremonial. Peran ini menuntut kompetensi yang dalam, terutama soal tata kelola perusahaan.