Batas identitas kelompok bergeser tajam saat tindakan aparat makin represif. Misalnya, kendaraan taktis melindas warga.
Peristiwa itu ditafsirkan sebagai perlakuan tidak sah dari out-group, yaitu aparat. Tafsir ini memperkuat norma konfrontatif sehingga massa merasa berhak membalas (Drury, 2020).
Di momen seperti itu, provokator mengambil peran. Mereka mengompori massa agar terjadi kontak keras, menyebarkan rumor yang sulit dibantah, dan memberi rangsangan tambahan.
Melempar batu, melontarkan ajakan, apa saja yang mendorong keputusan impulsif. Mereka memanfaatkan kontrol diri yang melemah dan menyalakan penularan emosi.
Pelanggaran norma jadi terasa wajar karena anonimitas dianggap menurunkan risiko pribadi.
Begitu bentrok lokal meletup, kericuhan cepat menular. Provokator mengeksploitasi momentum, menggandakan gaung kerusuhan, bahkan mendorong seruan balas dendam pada aparat.
Situasi ini menguntungkan penguasa. Mereka memperoleh alasan untuk membenarkan tindakan represif berikutnya.
Instruksi kekerasan berlanjut, demonstrasi diberi cap "aksi anarkis," dan media arus utama sering ikut mengulang label yang sama.
Pemerintah senang menganggap kerusuhan sebagai ekses spontan massa. Alasannya sederhana.
Penyelidikan yang sungguh-sungguh bisa membuka kebenaran yang tidak mereka inginkan. Dan Hancox pada 2024 mengingatkan adanya upaya terencana untuk menyederhanakan atau mereduksi keberagaman motif para demonstran.
Jadi, provokator bukan biang tunggal. Mereka lebih tepat dipandang sebagai gejala dari sistem yang represif.