Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Provokator Bukan Dalang Tunggal, Mereka Gejala Sistem Represif

9 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 1 Oktober 2025   16:56 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Kaltim, (1/9/2025), berujung ricuh hingga malam.(Kompas.com/Pandawa Borniat)

Setiap demonstrasi besar memang membawa risiko kericuhan. Dari sini sering muncul narasi seragam yang menempelkan cap perusuh pada massa aksi.

Label "massa rusuh" kerap dipakai penguasa (Hancox, 2024) untuk menutupi tuntutan utama. Padahal, tak sedikit provokator menyusup ke kerumunan dengan agenda lain.

Mereka punya peran kunci dalam membelokkan emosi massa hingga tujuan aksi melenceng.

Fokus awal demonstran jadi bergeser. Lalu datang gelombang perusakan dan pembakaran.

Kita masih ingat kasus Halte Sarinah pada 2020 dalam gelombang penolakan UU Cipta Kerja. Di saat seperti itu, instansi resmi sering memilih jalan cepat dengan mencari kambing hitam di antara peserta aksi.

Akibatnya, isu substansi justru tersingkir.

Kenapa strategi provokator begitu mujarab? Karena mereka paham betul psikologi massa.

Kerumunan besar mencampur banyak emosi. Ada marah, geram, jengkel. Ada juga takut dan waswas, terutama saat menghadapi kekerasan aparat.

Gas air mata, misalnya, langsung mengerek kewaspadaan. Tapi rasa takut bisa cepat memudar ketika emosi kolektif mengambil alih.

Victor Chung dan rekan membahas soal emosi kolektif. Studi mereka tahun 2023 menyebutnya konvergensi respons emosional, yaitu sinkronisasi emosi antarmanusia (Chung, Grzes, & Pacherie, 2023).

Ketakutan individu mudah luntur saat ia melihat keberanian orang lain. Di titik itu, identitas personal bisa melemah. Individu melebur ke kelompoknya dan merasa bangga menjadi bagian darinya.

Luis M. Rivera dan kolega pada 2024 menjelaskannya lewat teori identitas sosial. Ciri khas in-group menjadi sumber harga diri. Orang jadi makin menyukai kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai out-group.

Emosi kolektif punya tiga ciri utama. Pertama, keselarasan emosi. Orang saling memengaruhi sampai perasaannya sejalan.

Kedua, rasa kebersamaan. Mereka merasa ditemani, bergembira karena tujuan yang sama. Ketiga, kesadaran bersama. Tiap orang tahu bahwa orang lain mengalami kondisi mental yang serupa, lalu terbentuk representasi mental bersama di tingkat kelompok.

Dalam demonstrasi, emosi kolektif ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi tenaga. Massa merasa lebih aman dan suaranya terdengar lebih lantang.

Di sisi lain, emosi ini mudah sekali dibajak. Satu hasutan saja bisa menular cepat. Provokator pandai memunculkan ekspresi marah yang sering kali dibuat-buat.

Ekspresi seperti itu cepat mencuri perhatian. Ia menyalakan emosi peserta aksi.

Irina Pitica dan rekan pada 2013 memberi penjelasan. Kemarahan adalah sinyal ancaman yang menonjol. Karena itu, ia mendapat alokasi perhatian khusus (Pitica dkk., 2013).

Mekanismenya berkaitan dengan modul ketakutan manusia. Tak heran kemarahan mudah memengaruhi suasana batin massa.

Sinyal ancaman dari satu orang bisa memicu eskalasi emosi yang lebih tinggi. Ujungnya bisa tindakan ofensif, seperti pelemparan atau pembakaran.

Tetapi eskalasi kekerasan bukan semata ulah provokator. Sering kali pemicunya adalah pergeseran batas identitas.

Kerusuhan muncul ketika garis "siapa kami" bergeser, juga definisi "apa yang wajar dilakukan." John Drury pada 2020 menjelaskan ini lewat kerangka Elaborated Social Identity Model atau ESIM.

Batas identitas kelompok bergeser tajam saat tindakan aparat makin represif. Misalnya, kendaraan taktis melindas warga.

Peristiwa itu ditafsirkan sebagai perlakuan tidak sah dari out-group, yaitu aparat. Tafsir ini memperkuat norma konfrontatif sehingga massa merasa berhak membalas (Drury, 2020).

Di momen seperti itu, provokator mengambil peran. Mereka mengompori massa agar terjadi kontak keras, menyebarkan rumor yang sulit dibantah, dan memberi rangsangan tambahan.

Melempar batu, melontarkan ajakan, apa saja yang mendorong keputusan impulsif. Mereka memanfaatkan kontrol diri yang melemah dan menyalakan penularan emosi.

Pelanggaran norma jadi terasa wajar karena anonimitas dianggap menurunkan risiko pribadi.

Begitu bentrok lokal meletup, kericuhan cepat menular. Provokator mengeksploitasi momentum, menggandakan gaung kerusuhan, bahkan mendorong seruan balas dendam pada aparat.

Situasi ini menguntungkan penguasa. Mereka memperoleh alasan untuk membenarkan tindakan represif berikutnya.

Instruksi kekerasan berlanjut, demonstrasi diberi cap "aksi anarkis," dan media arus utama sering ikut mengulang label yang sama.

Pemerintah senang menganggap kerusuhan sebagai ekses spontan massa. Alasannya sederhana.

Penyelidikan yang sungguh-sungguh bisa membuka kebenaran yang tidak mereka inginkan. Dan Hancox pada 2024 mengingatkan adanya upaya terencana untuk menyederhanakan atau mereduksi keberagaman motif para demonstran.

Jadi, provokator bukan biang tunggal. Mereka lebih tepat dipandang sebagai gejala dari sistem yang represif.

Mereka bekerja di celah kerentanan psikologis yang muncul dan makin diperparah oleh tindakan aparat yang berlebihan.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun