Luis M. Rivera dan kolega pada 2024 menjelaskannya lewat teori identitas sosial. Ciri khas in-group menjadi sumber harga diri. Orang jadi makin menyukai kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai out-group.
Emosi kolektif punya tiga ciri utama. Pertama, keselarasan emosi. Orang saling memengaruhi sampai perasaannya sejalan.
Kedua, rasa kebersamaan. Mereka merasa ditemani, bergembira karena tujuan yang sama. Ketiga, kesadaran bersama. Tiap orang tahu bahwa orang lain mengalami kondisi mental yang serupa, lalu terbentuk representasi mental bersama di tingkat kelompok.
Dalam demonstrasi, emosi kolektif ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi tenaga. Massa merasa lebih aman dan suaranya terdengar lebih lantang.
Di sisi lain, emosi ini mudah sekali dibajak. Satu hasutan saja bisa menular cepat. Provokator pandai memunculkan ekspresi marah yang sering kali dibuat-buat.
Ekspresi seperti itu cepat mencuri perhatian. Ia menyalakan emosi peserta aksi.
Irina Pitica dan rekan pada 2013 memberi penjelasan. Kemarahan adalah sinyal ancaman yang menonjol. Karena itu, ia mendapat alokasi perhatian khusus (Pitica dkk., 2013).
Mekanismenya berkaitan dengan modul ketakutan manusia. Tak heran kemarahan mudah memengaruhi suasana batin massa.
Sinyal ancaman dari satu orang bisa memicu eskalasi emosi yang lebih tinggi. Ujungnya bisa tindakan ofensif, seperti pelemparan atau pembakaran.
Tetapi eskalasi kekerasan bukan semata ulah provokator. Sering kali pemicunya adalah pergeseran batas identitas.
Kerusuhan muncul ketika garis "siapa kami" bergeser, juga definisi "apa yang wajar dilakukan." John Drury pada 2020 menjelaskan ini lewat kerangka Elaborated Social Identity Model atau ESIM.