Sistem politik Indonesia lagi tidak baik-baik saja. Demokrasi perwakilan terdesak oleh kekuatan oligarki. Sementara korupsi dan dinasti politik kian menebal.
Wajar kalau muncul pertanyaan ekstrem. Apa republik ini perlu diganti total? Ada pula yang mengusulkan konfederasi otonom. Lalu mendorong demokrasi langsung sebagai obatnya.
Janjinya sederhana, kedaulatan dikembalikan ke tingkat lokal. Kedengarannya menarik, tapi perlu dibedah pelan-pelan.
Akar masalahnya bukan di label sistemnya. Yang bolong ada pada penegakan hukum. Para perusak aturan sering lolos tanpa sanksi.
Mengganti bentuk negara terasa gagah, namun sering hanya jadi ilusi solusi. Oligarki dan korupsi itu penyakit struktural.
Nama sistem diganti. Penyakitnya tetap menempel. Jika kewenangan pusat dipangkas terlalu jauh. Risikonya tidak kecil.
Oligarki pusat bisa saja berganti baju jadi oligarki lokal. Elite daerah yang korup berpeluang berjaya. Pengawasan dari pusat melemah. Dan kekacauan makin sulit dikendalikan.
Pergantian sistem biasanya terjadi lewat revolusi. Sejarah mengingatkan, jalur ini mahal harganya.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) menunjukkan, revolusi jarang melahirkan perubahan yang inklusif. Yang sering terjadi hanya pergantian elite.
Rezim baru pun kerap kembali represif. Tidak jauh berbeda dari rezim lama. Akar kegagalan ada pada institusi yang ekstraktif. Dirancang untuk menguntungkan segelintir orang.
Bukan karena geografis atau budaya. Maka langkah strategis justru reformasi konstitusi disertai penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
Kita juga punya contoh pahit. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diniatkan mengakhiri krisis konstitusional, namun justru menjadi titik balik yang membuka jalan ke otoritarianisme. Demokrasi Terpimpin bergerak ke arah itu (Mustanir.net, 2019).
Konstituante dibubarkan, militer diberi ruang berpolitik, dan kekuasaan mengerucut pada presiden. Secara substansi, ini adalah kudeta konstitusional.
Sistem parlementer berakhir tanpa persetujuan yang sah, dan keputusan di luar konstitusi berujung pada penyalahgunaan kewenangan (Tirto.id, 2021).
Polanya berulang. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 memicu kegaduhan nasional. Batas usia capres-cawapres dilonggarkan, menimbulkan kontroversi dan tudingan konflik kepentingan.
Dampaknya menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu berelasi keluarga dengan Ketua MK (Jurnal Universitas Harapan Bangsa).
Ikhtisar putusan tersebut dikritik, ada dugaan asas keadilan dikesampingkan. Ketika lembaga setinggi Mahkamah Konstitusi bisa diseret kepentingan elite, kita berhadapan dengan problem moral politik yang dalam.
Etika elite memang bermasalah. Lagi-lagi, ini bukan semata urusan bentuk negara (Mahkamah Konstitusi RI).
Bagaimana dengan ide konfederasi yang sering merujuk pada Proudhon? Konfederasi itu ikatan longgar, kedaulatan penuh di unit-unit lokal, pusat sekadar koordinator.
Untuk Indonesia yang kepulauan dan multietnis, taruhannya besar. Kedaulatan mutlak atas sumber daya di tingkat lokal bisa memancing ego kedaerahan. Ikatan persatuan mengendur, sengketa perebutan sumber daya mudah membesar.
Demokrasi langsung pun tidak bebas dari masalah. Mekanismenya menuntut plebisit berkala dan, pada skala Indonesia, butuh "majelis" yang amat besar.
Dengan populasi ratusan juta dan infrastruktur yang belum merata, prosesnya akan mahal dan tidak efisien. Risiko tirani mayoritas tetap menghantui.
Suara terbanyak bisa mengalienasi kelompok yang rentan. Struktur adat di banyak tempat juga hierarkis atau patriarkal, sulit diselaraskan dengan rancangan konfederasi modern.
Di situ, kesetaraan gender tersendat dan hak minoritas non-etnis ikut terancam.
Jadi, apa jalan tengah yang masuk akal? Desentralisasi Radikal dalam bingkai negara kesatuan.
Wewenang yang dekat dengan warga sebaiknya dikembalikan ke daerah. Kesehatan, pendidikan, dan pengelolaan anggaran.
Penguasaan sumber daya alam diletakkan di tangan daerah yang berhak. Namun kedaulatan inti tetap di pusat untuk urusan pertahanan dan moneter.
Dengan pola ini, otonomi lokal tumbuh tanpa menggoyahkan persatuan. Fokus perbaikan diarahkan pada independensi penegakan hukum, dan lembaga antikorupsi wajib diperkuat.
Mengganti bentuk negara secara total terlalu berisiko. Membenahi fondasi yang sudah ada jauh lebih strategis.
***
Referensi:
- Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Random House. (Diambil dari: https://www.rand.org/pubs/commentary/2012/04/book-review-why-nations-fail-by-daron-acemoglu-and.html)
- Jurnal Universitas Harapan Bangsa. (t.t.). JURNAL HUKUM IN CONCRETO Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU. (Diambil dari: https://ejurnal.uhb.ac.id/index.php/inconcreto/article/download/1314/788)
- Mahkamah Konstitusi RI. (t.t.). IKHTISAR PUTUSAN PERKARA NOMOR 90/PUU-XXI/2023 Tentang Persyaratan Batas Usia Minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden. (Diambil dari: https://www.mkri.id/public/content/persidangan/sinopsis/ikhtisar_3646_1941_Ikhtisar_90_2023.pdf)
- Mustanir.net. (2019). Dekrit 5 Juli 1959: Politik Tentara & Titik Balik Otoritarianisme Sukarno. (Diambil dari: https://mustanir.net/otoritarianisme-sukarno/)
- Tirto.id. (2021). Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Titik Balik Otoritarianisme Sukarno? (Diambil dari: https://tirto.id/dekrit-presiden-5-juli-1959-titik-balik-otoritarianisme-sukarno-ghr1)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI