Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Negara Konfederasi Bukan Solusi, Perbaikan Demokrasi Lebih Baik dari Revolusi

8 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 27 September 2025   21:04 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Republik Indonesia Serikat ketika terbagi jadi beberapa negara federal atau negara boneka bentukan Belanda.(Wikimedia Commons via Kompas.com)

Kita juga punya contoh pahit. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diniatkan mengakhiri krisis konstitusional, namun justru menjadi titik balik yang membuka jalan ke otoritarianisme. Demokrasi Terpimpin bergerak ke arah itu (Mustanir.net, 2019).

Konstituante dibubarkan, militer diberi ruang berpolitik, dan kekuasaan mengerucut pada presiden. Secara substansi, ini adalah kudeta konstitusional.

Sistem parlementer berakhir tanpa persetujuan yang sah, dan keputusan di luar konstitusi berujung pada penyalahgunaan kewenangan (Tirto.id, 2021).

Polanya berulang. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 memicu kegaduhan nasional. Batas usia capres-cawapres dilonggarkan, menimbulkan kontroversi dan tudingan konflik kepentingan.

Dampaknya menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu berelasi keluarga dengan Ketua MK (Jurnal Universitas Harapan Bangsa).

Ikhtisar putusan tersebut dikritik, ada dugaan asas keadilan dikesampingkan. Ketika lembaga setinggi Mahkamah Konstitusi bisa diseret kepentingan elite, kita berhadapan dengan problem moral politik yang dalam.

Etika elite memang bermasalah. Lagi-lagi, ini bukan semata urusan bentuk negara (Mahkamah Konstitusi RI).

Bagaimana dengan ide konfederasi yang sering merujuk pada Proudhon? Konfederasi itu ikatan longgar, kedaulatan penuh di unit-unit lokal, pusat sekadar koordinator.

Untuk Indonesia yang kepulauan dan multietnis, taruhannya besar. Kedaulatan mutlak atas sumber daya di tingkat lokal bisa memancing ego kedaerahan. Ikatan persatuan mengendur, sengketa perebutan sumber daya mudah membesar.

Demokrasi langsung pun tidak bebas dari masalah. Mekanismenya menuntut plebisit berkala dan, pada skala Indonesia, butuh "majelis" yang amat besar.

Dengan populasi ratusan juta dan infrastruktur yang belum merata, prosesnya akan mahal dan tidak efisien. Risiko tirani mayoritas tetap menghantui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun