Arah politik luar negeri menjadi lebih garang, bahkan kerap terasa konfrontatif. Sukarno menilai corak diplomasi sebelumnya terlalu lembek dan lamban. Terutama soal Irian Barat.
Ia ingin suara Indonesia terdengar lantang dan disegani. Dari situ, haluan pun bergeser.
Indonesia makin merapat ke Blok Timur. Dan menempatkan diri sebagai penentang utama imperialisme serta kolonialisme.
Narasi ini terdengar sangat nasionalistis, dan memang masuk akal. Namun di baliknya ada lapisan lain.
Kebijakan luar negeri Sukarno yang berapi-api tidak hanya ditujukan ke luar. Ia juga memainkannya untuk kebutuhan politik dalam negeri.
Menjelang akhir 1950-an, dua kekuatan besar saling beradu. Yaitu Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia.
Sukarno mengambil posisi penyeimbang dengan konsep NASAKOM. Ia membutuhkan perekat yang bisa membuat keduanya bergerak dalam satu barisan (Tirto.id, 2021).
Perekat itu adalah "musuh bersama". Namanya "nekolim" atau neokolonialisme dan imperialisme.
Dari sini lahir slogan Ganyang Malaysia. Sebagai protes atas pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonial Inggris.
Dampaknya terasa luas. Energi politik nasional tersedot keluar. Faksi-faksi di dalam negeri yang tadinya saling sikut menjadi lebih reda untuk sementara (CNN Indonesia, 2023).
Dengan cara itu, politik luar negeri berfungsi ganda. Ke luar keras, ke dalam memperkuat pijakan kekuasaan.