Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diplomasi Garang Sukarno dan Harga yang Dibayar Bangsa

24 September 2025   07:00 Diperbarui: 20 September 2025   17:13 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Sukarno, President Filipina Macapagal, Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman. (National Library of the Philippines via Kompas.com)

Sejarah diplomasi awal Indonesia selalu punya cerita. Banyak yang menulisnya dengan nada sangat idealis.

Dari situ lahir prinsip "bebas aktif". Sebuah gagasan luhur yang kemudian menjadi landasan politik luar negeri kita (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia).

Mohammad Hatta memperkenalkannya untuk pertama kali saat ia masih menjabat wakil presiden. Gagasannya ia sampaikan lewat pidato yang kemudian masyhur pada tahun 1948.

Pesannya sederhana dan tegas. Bahwa Indonesia tidak memihak Blok Barat. Juga tidak bergabung dengan Blok Timur. Negara ini ingin berdiri di kaki sendiri, menentukan arah sendiri. Itu sejalan dengan catatan Kompas.com tahun 2021.

Tapi apakah semua murni idealisme? Mungkin tidak sesederhana itu. Jika dilihat dari kacamata yang lebih praktis, kondisinya berbeda.

Indonesia saat itu baru lahir. Posisi politiknya rapuh.

Kekuatan militer belum seberapa. Ekonomi baru dirangkai ulang.

Dalam keadaan begitu, bersikap netral adalah pilihan paling aman. Bukan cuma urusan prinsip, melainkan strategi bertahan hidup.

Salah langkah bisa berakibat fatal. Negara yang masih ringkih mudah terseret arus pertarungan dua adidaya.

Di sini politik bebas aktif tampil sebagai langkah cerdas. Pragmatis, sekaligus menjaga eksistensi nasional.

Lalu suasana berubah cepat. Presiden Sukarno mengambil kendali penuh dan membawa negeri ini ke era Demokrasi Terpimpin.

Arah politik luar negeri menjadi lebih garang, bahkan kerap terasa konfrontatif. Sukarno menilai corak diplomasi sebelumnya terlalu lembek dan lamban. Terutama soal Irian Barat.

Ia ingin suara Indonesia terdengar lantang dan disegani. Dari situ, haluan pun bergeser.

Indonesia makin merapat ke Blok Timur. Dan menempatkan diri sebagai penentang utama imperialisme serta kolonialisme.

Narasi ini terdengar sangat nasionalistis, dan memang masuk akal. Namun di baliknya ada lapisan lain.

Kebijakan luar negeri Sukarno yang berapi-api tidak hanya ditujukan ke luar. Ia juga memainkannya untuk kebutuhan politik dalam negeri.

Menjelang akhir 1950-an, dua kekuatan besar saling beradu. Yaitu Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia.

Sukarno mengambil posisi penyeimbang dengan konsep NASAKOM. Ia membutuhkan perekat yang bisa membuat keduanya bergerak dalam satu barisan (Tirto.id, 2021).

Perekat itu adalah "musuh bersama". Namanya "nekolim" atau neokolonialisme dan imperialisme.

Dari sini lahir slogan Ganyang Malaysia. Sebagai protes atas pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonial Inggris.

Dampaknya terasa luas. Energi politik nasional tersedot keluar. Faksi-faksi di dalam negeri yang tadinya saling sikut menjadi lebih reda untuk sementara (CNN Indonesia, 2023).

Dengan cara itu, politik luar negeri berfungsi ganda. Ke luar keras, ke dalam memperkuat pijakan kekuasaan.

Ambisi Sukarno melangkah lebih jauh. Indonesia dibayangkan sebagai mercusuar bagi The New Emerging Forces.

Ia berkeliling dunia. Tampil sebagai salah satu tokoh utama Gerakan Non-Blok. Dan turut menggelar Konferensi Asia Afrika.

Puncaknya, ia mendirikan CONEFO sebagai tandingan PBB yang dianggap dikuasai kekuatan lama. Langkah paling drastis adalah keluar dari PBB pada Januari 1965 (National Geographic Indonesia, 2022).

Semua ini tidak gratis. Proyek politik yang begitu besar menguras kas negara.

Inflasi pun melonjak sampai tahap hiperinflasi, sebagaimana dicatat Bank Indonesia. Sikap konfrontatif membuat Indonesia kian terisolasi. Bantuan dari negara Barat berhenti.

Untuk memahami politik luar negeri era Sukarno, kita perlu kepala dingin. Di sana ada idealisme dan kalkulasi. Ada ambisi yang besar. Dan ada harga mahal yang akhirnya dibayar.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun