Kisah itu beredar bertahun-tahun setelah peristiwa. Ingatan manusia berubah, kadang ditambah bumbu agar terdengar lebih dramatis.
Tanpa bukti sezaman yang kuat, mungkin lebih pas menyebutnya anekdot sejarah.
Sjahrir juga dikenal sangat peduli pada rakyat kecil. Kepedulian itu ia wujudkan dengan mendirikan Tjahaja Volksuniversiteit (Pustaka Kebudayaan Kemdikbud).
Tujuannya mulia, memberantas buta huruf dan mencerdaskan anak-anak pribumi. Ini sering dibaca sebagai bukti naluri pendidiknya.
Benar, tetapi mungkin ada lapisan lain. Sekolah rakyat juga alat politik yang cerdas.
Cara ini efektif membangun dukungan dari bawah. Melalui pendidikan, gagasan nasionalisme bisa disebar lebih rapi dan mendalam.
Tindakannya mempertemukan niat sosial yang tulus dengan strategi politik yang tepat.
Mengangkat Sjahrir sebagai pahlawan tunggal juga terasa kurang pas. Ia kerap digambar sebagai bintang paling terang, pemuda cerdas, berani, bahkan jago main bola.
Pandangan seperti ini mudah menutupi konteks zaman. Bandung pada 1920-an sangat hidup.
Banyak pemuda hebat lain mendirikan klub-klub studi dan aktif di organisasi kebangsaan. Jong Indonesi, misalnya, yang menjadi salah satu cikal bakal Kongres Pemuda (Tirto.id).
Sjahrir bukan satu-satunya bintang. Ia adalah produk dari lingkungan intelektual yang subur, tempat ide-ide baru dan perlawanan tumbuh.