Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Pelajaran dari China untuk Membangun Ekosistem Influencer yang Sehat

21 September 2025   23:00 Diperbarui: 17 September 2025   17:10 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi influencer. (via Kompas.com)

Banyak orang menjadikan China sebagai tolok ukur, terutama soal ekonomi influencer. Laju pertumbuhannya kencang dan skalanya besar.

Ekonomi baru yang bertumpu pada influencer marketing ini diperkirakan menembus CNY6,7 triliun pada 2025 (Digital in Asia, 2023). Kuncinya ada pada dukungan pemerintah dan peran agensi profesional.

Tak heran banyak negara ingin meniru, termasuk Indonesia yang jelas punya modal besar. Data terbaru bahkan menunjukkan rata-rata waktu harian menggunakan media sosial di Indonesia lebih tinggi daripada di China (ElectroIQ, 2025).

Basis audiens yang masif ini adalah titik awal yang sangat berharga.

Masalahnya, menyalin begitu saja model China bukan perkara gampang. Ada perbedaan mendasar yang wajib dihitung. Soal regulasi, misalnya.

Pemerintah China memang mendorong industri ini, tetapi dukungannya berjalan beriringan dengan kontrol yang ketat. Aturannya jelas dan tegas, terlihat dari pembaruan Undang-Undang Periklanan yang kini secara spesifik mengatur praktik influencer (Hogan Lovells).

Pola seperti ini belum tentu pas untuk Indonesia. Iklim sosial politik di sini cenderung lebih terbuka, dan regulasi yang terlalu membatasi bisa memadamkan kreativitas. Padahal kreativitas adalah napas para kreator.

Perilaku konsumen juga tak sama. Di China ada fenomena "Zhongcao" atau menanam benih (LSEEE Journal).

Influencer menanamkan keinginan di benak pengikutnya, lalu dorongan itu memengaruhi keputusan belanja di kemudian hari. Konsep ini krusial bagi platform seperti Xiaohongshu.

Konsumen Indonesia mungkin bermain dengan logika berbeda. Mereka bisa lebih sensitif terhadap harga atau lebih waspada terhadap promosi berbayar yang terasa tidak otentik. Karakter pasar ini perlu riset serius, tidak bisa disamaratakan.

Struktur industrinya pun berbeda. Di China, agensi memegang peranan dominan. Hampir semua influencer besar bernaung di agensi dengan model inkubasi (InfluChina).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun