Era 1920-an sering dikenang sebagai Roaring Twenties, masa yang riuh sekaligus penuh harapan. Datangnya sesudah Perang Dunia I. Dunia sedang bangkit dari kengerian perang.
Jazz mengalun di mana-mana. Ekonomi melesat. Dan muncullah figur perempuan modern yang kelak jadi ikon: para flapper.
Ciri mereka mudah dikenali. Rambut dipotong bob, gaun longgar tanpa lekuk pinggang, rok jauh lebih pendek daripada sebelumnya.
Ada satu tren yang unik dan kerap jadi bahan obrolan: melukis bagian lutut. Banyak orang membacanya sebagai simbol perlawanan yang terang-terangan.
Ini cara perempuan muda menantang tradisi yang dianggap mengekang. Lutut yang dulu rapat tertutup menjadi kanvas baru untuk ekspresi diri.
Desainnya macam-macam, dari pulasan pemerah pipi yang sederhana sampai lukisan kecil yang rumit seperti potret, bunga, atau pemandangan.
Ripley's Believe It or Not! pernah mencatat fenomena ini. Pesannya jelas: tubuh adalah milik mereka sendiri, bukan milik aturan konservatif dari masa lalu.
Apakah gambaran itu berlaku untuk semua? Tidak selalu. Fenomena flapper lebih kuat di kota-kota besar, misalnya New York atau Paris, tempat perempuan muda kelas menengah ke atas punya akses, waktu, dan uang untuk gaya hidup modern.
Mereka bisa nongkrong di klub jazz, membeli gaun terbaru, dan mengikuti majalah-majalah mode. Di pedesaan, kehidupan berjalan berbeda, jauh dari hiruk pikuk tren melukis lutut.
Motivasi flapper juga beragam dan tidak sesederhana satu slogan. Apakah semuanya punya kesadaran feminis? Mungkin hanya sebagian. Bagi banyak orang, ini sekadar mengikuti arus mode. Media massa memegang peran penting.
Majalah The Flapper terbit sejak 1922 dan ikut membentuk citra flapper, rujukannya juga tampak dalam materi yang beredar di Wikimedia Commons. Kehadiran figur perempuan modern ini sekaligus menciptakan pasar baru.