Mereka berburu penawaran terbaik. Memaksimalkan setiap rupiah. Buat mereka, liburan seru tidak harus mahal.
Perilaku ini bukan soal foya-foya. Ini soal pergeseran prioritas. Generasi orang tua kita fokus menabung untuk aset fisik.
Anak muda sekarang menilai pengalaman lebih berharga daripada kepemilikan. Banyak riset pasar global mengonfirmasi arah itu.
Kita melihat kebangkitan ekonomi pengalaman. Kemenparekraf juga mencatat fenomena ini sebagai salah satu tren besar.
Mereka memilih membelanjakan uang dengan cara berbeda, demi perjalanan yang memperkaya jiwa, mudah dikenang, dan tentu saja asyik untuk diceritakan.
Ada satu faktor lain yang besar pengaruhnya. Media sosial. Banyak studi platform menunjukkan betapa kuat dampaknya terhadap pilihan liburan anak muda.
Linimasa saban hari dipenuhi foto dan video perjalanan, pemandangan indah, kuliner, juga aktivitas seru yang bikin ingin ikut.
 Konten seperti ini menciptakan tekanan sosial. FOMO muncul. Keinginan berlibur tidak selalu murni dorongan pribadi, ada dorongan untuk menampilkan citra diri tertentu di dunia maya.
Tren liburan anak muda itu kompleks. Tidak hitam putih. Ada yang memang rela membayar mahal untuk pengalaman premium.
Ada juga yang teliti berhitung. Demi mendapat pengalaman terbaik dengan biaya minim.
Di balik keinginan untuk jalan-jalan, ada tekanan tak terlihat. Untuk eksis di medsos.