Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Seni Botani: Saat Akurasi Sains Bertemu Keindahan Seni

18 September 2025   09:00 Diperbarui: 14 September 2025   16:34 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seni botani itu unik. Ia hidup di antara dua dunia yang sering dianggap terpisah. Seni dan sains.

Ini bukan cuma soal melukis bunga atau pemandangan alam. Ada aturan main yang ketat, dan inti aturannya sederhana saja: akurasi.

Menurut American Society of Botanical Artists, setiap detail harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Jumlah kelopak, bentuk daun, sampai gradasi warna saat bunga mekar, semuanya tepat. Karya seperti ini berfungsi sebagai potret ilmiah, rekaman visual yang abadi.

Dari sini muncul pertanyaan yang tak habis dibahas. Apakah ini masih seni murni? Seni biasanya lekat dengan kebebasan. Ruang untuk berekspresi. Dan berimajinasi seluas mungkin.

Seorang pelukis bisa saja menggambar pohon berwarna biru jika imajinasinya mengarah ke sana.

Di seni botani, tidak begitu. Pohon digambarkan seperti adanya. Sebagian orang merasa aturan ini membelenggu, membatasi kreativitas. L

ukisan bisa terasa kaku dan dingin. Lebih mirip ilustrasi teknis di buku. Seolah tak ada ruang bagi emosi atau tafsir pribadi sang seniman.

Seni botani juga sering dikaitkan dengan tujuan mulia, yakni pelestarian alam. Gagasannya terdengar sederhana dan masuk akal.

Seniman melukis tanaman langka, lalu diharapkan kesadaran publik meningkat. Orang jadi tahu flora yang terancam punah dan, idealnya ikut menjaga. Tapi apakah hubungan kesadaran dan tindakan selalu lurus? Tidak sesederhana itu.

Melihat lukisan yang indah membuat kita kagum. Lalu setelah rasa kagum mereda, apa yang terjadi? Apakah kita otomatis berdonasi atau terjun membantu? Tentu tidak selalu.

Meski begitu, banyak institusi besar mencoba mendorong langkah lanjutan. Mereka memakai koleksi seni botani untuk menyoroti spesies yang terancam, mengaitkan keindahan visual dengan data dan urgensi ilmiah yang nyata.

Tujuannya jelas, menyelamatkan tanaman tersebut. Kebun Raya Kew melakukannya. Proyek seperti ini berusaha menjembatani kesenjangan antara kesadaran dan aksi, meski tantangannya tetap besar.

Kita juga bisa melihatnya dari sisi proses. Kekuatan seni tidak hanya pada hasil akhirnya. Tapi pada cara ia dibuat.

Di zaman serba cepat dan instan, seni botani memaksa kita melambat. Seorang seniman duduk berjam-jam. Bahkan berhari-hari. Menatap satu objek dengan saksama.

Ini latihan kesabaran dan disiplin. Rasanya seperti meditasi aktif, cara untuk tersambung kembali dengan alam.

Seni ini juga kuat sebagai alat pendidikan. Banyak lembaga menawarkan program khusus yang mengajarkan botani lewat ilustrasi.

Denver Botanic Gardens adalah salah satu contohnya. Bayangkan anak-anak belajar anatomi tumbuhan lewat lukisan cat air yang detail dan hidup.

Pelajaran seperti itu cenderung lebih melekat di ingatan. Ketimbang diagram hitam putih yang kaku.

Seni botani menjadi jembatan yang efektif, menghubungkan dunia ilmiah yang rumit dengan masyarakat luas di sekitar kita.

Singkatnya, seni botani menyimpan banyak percakapan. Antara akurasi yang tegas dan ekspresi yang bebas. Antara niat pelestarian dan dampak nyata yang masih harus terus diukur.

Satu hal yang hampir pasti, ia mengundang kita berhenti sejenak. Menoleh lebih dekat pada keindahan yang sering terlewat.

Mengapresiasi keajaiban detail dunia tumbuhan di tengah hidup yang makin bising. Mungkin kemampuan untuk fokus itulah nilai terpentingnya.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun