Di Gaza, jurnalis hidup dengan ancaman yang tidak kunjung reda. Mereka hanya menjalankan tugas: menjadi saksi dan mendokumentasikan peristiwa.
Nyatanya, mereka dipersekusi, diburu, bahkan dibunuh. Ini serangan langsung terhadap jurnalisme.
Amnesty International menyebut hal ini sebagai upaya yang bukan hanya membunuh jurnalis, tetapi juga mencegah pendokumentasian genosida.
Cerita kehilangan itu punya wajah. Muhammad Salama, jurnalis Al Jazeera, baru saja menikah. Ia berharap bisa merayakan pernikahannya setelah gencatan senjata. Harapan itu terhenti. Ia tewas saat bekerja.
Ada pula kisah Abu Daqqa, yang terpaksa meninggalkan putranya yang masih kecil. Tragedi pribadi seperti ini menambah luka yang sudah terlalu dalam.
Investigasi Human Rights Watch pada 2012 menemukan Israel sengaja menargetkan jurnalis dan fasilitas media dalam empat insiden terpisah, tanpa indikasi adanya target militer yang sah.
Pada 2019, komisi PBB menyatakan Israel dengan sengaja menembak sepasang jurnalis Palestina pada 2018. Deret temuan ini menambah bukti adanya pola serangan yang disengaja.
Kenapa ini terus berulang? Jurnalis Hind Khoudary melontarkan pertanyaan getir: "Berapa kali kita akan laporkan pembunuhan rekan kita?"
Pertanyaan itu retoris, dan juga pekat dengan keputusasaan. Pembunuhan jurnalis di Gaza mengerikan. Pers menjadi target di tengah konflik.
Jurnalisme mestinya pilar kebenaran. Kini, pilar itu justru disasar. Dan kita tahu, tanpa jurnalis yang bisa bekerja dengan aman, kebenaran ikut terancam.
***