Pengantin pesanan bukan cerita baru. Dalam banyak kasus, ini jadi modus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang licik. International Organization for Migration sudah menyorot pola ini.
Kedoknya pernikahan. Janjinya surga. Hasilnya sering terasa seperti neraka. Banyak orang mengira persoalannya sesederhana kemiskinan.
Sayangnya tidak. Akar masalahnya jauh lebih kusut daripada sekadar urusan ekonomi.
Benar, kemiskinan mendorong. Orang butuh uang. Ingin hidup lebih layak. Tawaran menikah dengan orang asing terdengar menggoda. Apalagi bila disertai janji harta dan kemewahan.
Tapi kalau semua kesalahan ditumpuk pada kemiskinan. Masalah utamanya tidak akan beres. Beragam studi menunjukkan faktor lain ikut mendorong.
Pendidikan yang rendah. Kerentanan sosial. Pelaku pandai memanfaatkan semua pemicu itu.Jurnal Unhas tahun 2022 juga mencatat hal serupa. Jadi ini bukan cuma soal perut kosong.
Ada keterbatasan pengetahuan. Tekanan sosial yang berat. Dan impian personal. Impian itu lalu dibajak tanpa ampun.
Para pelaku lihai membaca situasi. Mereka tidak hanya mengiming-imingi uang. Mereka menjual mimpi.
Mimpi hidup yang tampak sempurna. Mimpi punya suami kaya dari luar negeri. Seolah bisa menyelamatkan dari kesulitan. Bahkan mengangkat derajat keluarga.
Inilah komoditas utama yang dieksploitasi. Penipuan emosional dan psikologis berjalan beriringan. Korban bukan semata tergoda materi.
Mereka terperangkap dalam fantasi yang memang sengaja dirangkai untuk menjerat. Itu adalah eksploitasi harapan yang kejam.