Dunia kerja sedang bergerak cepat. Ada generasi baru yang masuk, Gen Z. Mereka kerap dilabeli malas atau terlalu menuntut. Tapi mungkin bukan mereka masalahnya. Bisa jadi sistem kerja kita yang perlu dibereskan.
Banyak manajer senior kebingungan. Mereka melihat pegawai baru seperti kurang inisiatif, menunggu perintah.
Di sisi lain, anak muda merasa frustrasi. Mereka masuk ke lingkungan yang serba ambigu. Tugas datang tanpa arahan yang jelas. Prioritas pun kabur.
Kesenjangan ekspektasi ini bukan cerita belaka. Ini fenomena nyata yang terlihat dalam studi kerja.
Akar perbedaannya cukup jelas. Gen Z tumbuh sebagai generasi digital. Sejak kecil mereka terbiasa dengan sistem yang terang.
Dalam game ada aturan. Di media sosial umpan balik datang instan. Hampir semuanya bisa diukur.
Banyak laporan juga mencatat ekspektasi mereka: tujuan kerja yang jelas dan peluang pengembangan diri (Deloitte).
Pola pikir mereka terlatih logis. Lalu mereka bertemu dunia kerja yang abu-abu. Terjadi benturan. Energi mereka habis untuk menebak keinginan atasan.
Mereka sering meminta arahan yang tegas dan check-in rutin. Itu bukan tanda manja. Mereka butuh umpan balik berkelanjutan, bukan hanya evaluasi tahunan yang terasa lambat (Harvard Business Review, 2022).
Dengan peta yang jelas, mereka bisa berinovasi. Tugas pemimpin adalah menjernihkan ekspektasi agar potensi terbaik mereka terbuka, tanpa membuat ruang gerak jadi sempit (Forbes, 2023).
Tetap saja, menyalahkan sistem semata tidak adil. Gen Z bukan satu tipe. Kelompoknya besar, latar mereka beragam.