Orang-orang mulai kehabisan tenaga. Notifikasi tak pernah berhenti. Jempol terus menggulir.
Ponsel pintar katanya untuk memudahkan hidup, tapi nyatanya sering mencuri waktu. Juga mencuri perhatian. Maka banyak yang mencari pintu keluar.
Jawabannya terdengar kuno: kembali ke ponsel bodoh. Disebut juga dumb phone. Fungsinya dasar saja, telepon dan SMS. Sudah.
Rasanya seperti pemberontakan yang sunyi. Sejumlah anak muda memutuskan menolak teknologi paling mutakhir. Mereka bikin klub kecil, ruang aman untuk bernapas. Tujuannya sederhana, menikmati hidup tanpa gangguan.
Contoh yang sering disebut: Luddite Club di Brooklyn. Isinya para remaja yang menukar ponsel pintar dengan ponsel lipat sederhana (The New York Times, 2022).
Media menyapanya sebagai tren baru. Tapi seberapa besar gerakannya? Gelombang perubahan, atau cuma riak kecil?
Klub beranggotakan puluhan orang itu inspiratif, benar. Namun belum cukup jadi bukti pemberontakan global.
Data penjualan memang menunjukkan minat yang naik. CNBC sudah mengonfirmasinya. Dumb phone sedang naik daun, terutama di kalangan Gen Z (CNBC, 2023).
Riset pasar global juga mencatat pasar feature phone cenderung stabil dari tahun ke tahun (Counterpoint Research, 2024).
Artinya ada permintaan yang konsisten. Alasan orang beli pun beragam. Bisa karena lebih murah. Bisa sebagai ponsel kedua untuk kerja. Atau untuk orang tua yang tidak butuh aplikasi macam-macam.
Lalu, praktis tidak untuk semua orang? Hidup hari ini bertumpu pada aplikasi. Pesan ojek online perlu aplikasi. Bayar tagihan perlu aplikasi perbankan. Urusan kerja juga lewat aplikasi.