Sejarah jarang hitam-putih. Selalu ada ruang abu-abu. Kisah tentara Maluku berada tepat di sana. Ia lahir di masa revolusi, dan jelas bukan cerita sederhana. Bukan soal memilih pahlawan atau menunjuk pengkhianat.
Ini drama kemanusiaan. Jauh lebih kusut dari yang terlihat. Tentang orang-orang yang terjepit di antara dua zaman yang saling bertabrakan.
Banyak orang melihat mereka terutama sebagai korban. Mereka diburu ketika revolusi meletup. Keluarganya diteror, hidup dalam ketakutan. Banyak yang mencari perlindungan di tempat-tempat yang dianggap aman, misalnya Kampung Kramat Jakarta (Tirto.id).
Penderitaan itu nyata, fakta sejarah yang sukar dibantah. Tapi berhenti di situ membuat kita hanya membaca separuh halaman. Posisi mereka lebih rumit daripada sekadar korban.
Sebelum proklamasi, mereka bagian dari KNIL, tentara Hindia Belanda. Artinya, mereka aparat negara kolonial (Jejakdunia.com).
Dalam peran itu, mereka mendapat keistimewaan: gaji lebih baik, akses sekolah untuk anak, status sosial yang lebih tinggi. Loyalitas mereka juga tidak semata perkara bayaran. Ada ikatan budaya dan ideologi yang ditanam pelan-pelan, terstruktur.
Kenapa banyak dari mereka memilih KNIL? Latar belakangnya panjang. Ekonomi Maluku pernah berjaya, lalu runtuh. Harga cengkih dan pala jatuh. Menjadi tentara tampak seperti jalan keluar yang paling masuk akal. Pilihan pragmatis untuk bertahan.
Konsekuensinya besar. Para pejuang kemerdekaan memandangnya dengan marah. Muncul sebutan yang menyakitkan: "Londo Ireng" untuk pribumi yang dianggap pro-penjajah (Historia.id, 2020).
Jadi, amarah pada Masa Bersiap tidak muncul begitu saja. Ia buah dari luka lama, dari ratusan tahun penjajahan. Kekejaman tetap tidak bisa dibenarkan, tentu.
Namun akarnya perlu dipahami. Ini bukan sekadar amuk buta. Ini ledakan terhadap simbol kolonialisme (Kompas.id, 2022).
Dan sayangnya, tentara Maluku keburu dilihat sebagai simbol yang paling mudah ditunjuk.