Belakangan ini suasana negara makin panas. Tapi, anehnya, kalau lihat laporan resmi pemerintah. Semuanya terlihat baik-baik saja.
Seolah-olah kita sedang hidup di negeri yang aman. Puas, dan kenyang. Tapi coba turun ke jalan. Buka telinga lebar-lebar, dan rasakan sendiri: rakyat lagi marah besar.
Sumber kemarahan? Banyak. Tapi salah satu yang paling bikin geram datang dari wakil rakyat sendiri.Â
Seorang anggota DPR mengeluhkan tunjangan perumahan 50 juta yang diterimanya kurang. Padahal masih banyak keluarga di bilangan Menteng. Yang tinggal 11 orang dalam sebuah rumah petak.
Omongan semacam itu bukan cuma ngawur. Tapi juga menyakitkan, buat mereka yang tiap bulan harus putar otak buat bayar sewa.
Bukan cuma itu, komentar-komentar dari elit politik semakin menyulut bara. Ada yang menyebut rakyat 'tolol se-dunia'. Hingga lawakan politik yang viral tapi nggak lucu. Semuanya terasa seperti tamparan buat rakyat yang lagi kesusahan.
Sementara itu, pemerintah terus membanggakan angka-angka makro. Pertumbuhan ekonomi, kepuasan publik. Hingga rencana belanja negara yang katanya pro rakyat.
Tapi coba lihat realisasinya. Belanja negara yang ditargetkan Rp 3.351,6 triliun justru tersendat. Semester I 2025 baru terserap sekitar 40 persen untuk pusat dan bahkan lebih rendah untuk kementerian/lembaga.
Banyak anggaran hanya habis di atas meja. Untuk kajian, rapat, regulasi. Tanpa benar-benar mengalir ke dapur rakyat.
Situasi ini makin terasa di lapangan. PHK di mana-mana. ekerjaan makin sulit dicari. Dan rakyat mulai mempertanyakan: ke mana semua janji dapur makan bergizi gratis, koperasi merah putih, atau 19 juta lapangan kerja yang digadang-gadang itu?
Ketika data Asal Bapak Senang mendominasi, pemimpin bisa terjebak dalam ilusi stabilitas. Padahal, realitanya: jalanan terbakar. Rakyat hilang harapan. Negara sedang menuju jurang krisis legitimasi.