Dan kini, semua mata tertuju pada satu sosok: Presiden Prabowo. Rakyat tidak lagi butuh statemen simpatik. Mereka butuh tindakan nyata. Langkah politik konkret. Sekarang.
Kemarahan yang Meledak
Kemarahan rakyat bukan muncul tiba-tiba. Ia mengendap lama. Berbulan-bulan. Dan akhirnya meledak ketika simbol-simbol ketimpangan makin terasa nyata.
Ucapan pejabat yang ngawur. Tunjangan tak masuk akal. Gestur yang mencerminkan ketidakpedulian. Semuanya jadi api pemicu.
Tragedi Affan Kurniawan, driver ojol yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob, menjadi momen yang memicu gelombang kemarahan. Kemarahan yang sudah lama mengendap. Ini bukan sekadar soal satu nyawa. Ini tentang rasa keadilan yang hilang.
Demonstrasi besar-besaran pun pecah. Di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Medan. Semua dipenuhi amarah. Seruan seperti 'Bubarkan DPR' makin lantang. Ini bukan hanya protes sosial. Tapi krisis legitimasi.
-
Yang mengkhawatirkan, lingkaran kekuasaan justru makin asyik bermain dengan narasi sukses. Survei kepuasan publik yang katanya tembus 80 persen. Rapat-rapat kabinet yang tetap optimis. Hngga pidato-pidato retoris yang penuh janji tapi minim aksi.
Padahal, data real di lapangan justru menunjuk ke arah sebaliknya. Inflasi pangan masih menekan. Pengangguran terbuka tetap tinggi. Dan daya beli rakyat bawah makin menurun. Bahkan belanja negara yang seharusnya jadi mesin ekonomi justru mandek.
Anggaran yang besar terserap ke studi, birokrasi, dan proyek mercusuar yang belum siap. Dana triliunan hanya menghasilkan multiplier di bawah 1,0. Dengan kata lain, tidak ada efek langsung ke ekonomi riil. Sementara rakyat makin lapar dan frustrasi.
Ini bukan sekadar persoalan ekonomi. Ini soal kepercayaan. Ketika rakyat tidak lagi percaya bahwa negara berpihak pada mereka. Itulah titik di mana kekuasaan mulai kehilangan pijakan moralnya.
-