Supaya mimpi stop impor beras bisa kejadian, pemerintah nggak main-main. Lewat APBN 2025, mereka ngucurin dana sebesar Rp 16 triliun khusus buat Bulog.
Tugasnya jelas. Serap gabah dan beras sebanyak mungkin dari petani lokal. Targetnya 3 juta ton setara beras.
Nggak cuma itu, pemerintah juga hapus ketentuan rafaksi harga. Sebelumnya, kalau kualitas gabah petani nggak sesuai standar. Harganya dipotong.
Tapi sekarang, apa pun kualitasnya, Bulog wajib beli dengan harga Rp 6.500 per kilo. Ini sebenarnya kabar baik buat petani. Karena mereka nggak takut hasil panennya ditawar murah.
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) juga tancap gas. Target mereka: naikkan luas tanam padi reguler dari 17 juta hektar jadi 20 juta hektar. Tambahan 3 juta hektar ini dikejar lewat dua cara. Optimalisasi lahan tidur, dan cetak sawah baru.
Nggak berhenti di situ, Kementan juga dorong program tanam padi gogo. Jenis padi yang bisa tumbuh di sela-sela tanaman perkebunan. Idenya, lahan nggak harus 100% sawah. Tapi tetap bisa produktif.
Dan hasilnya kelihatan cepat. Pertengahan Mei 2025, stok CBP di Bulog tembus 3,7 juta ton. Ini bukan angka kecil. Bahkan ini rekor tertinggi sejak Indonesia terakhir swasembada beras tahun 1984.
Tapi masalahnya muncul di lapisan berikutnya…
Stok Melimpah Tapi Harga Tetap Tinggi, Ada Apa?
Kalau kamu pikir dengan stok sebanyak itu harga beras bakal turun. Sayangnya realitas berkata lain. Harga beras masih bertahan tinggi. Bahkan cenderung naik.
Pemerintah sebenarnya udah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi). Untuk beras medium, kisarannya antara Rp 12.500 – Rp 13.500 per kilo, tergantung zona wilayah. Untuk beras premium, HET-nya ada di rentang Rp 14.900 – Rp 15.800 per kilo.
Tapi di lapangan, data justru menunjukkan hal sebaliknya. Pada pekan pertama Agustus 2025, tercatat ada 191 kota/kabupaten yang mengalami kenaikan harga beras. Padahal awal Januari, “cuma” 87 daerah. Artinya, kondisi makin menyebar dan memburuk.