Makanya, pemerintah langsung ngegas lagi. Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, ada kebijakan baru.Â
Bulog wajib menyalurkan minimal 5 ton beras per hari dari tiap gudang. Plus memperluas jaringan distribusi ke ritel modern dan pasar tradisional.
Langkah lain yang lumayan fresh adalah menjadikan pedagang pasar tradisional sebagai penyalur permanen beras SPHP. Tujuannya sih biar jalur distribusi makin banyak. Dan beras subsidi bisa lebih cepat nyampe ke masyarakat.
Tapi, lagi-lagi kita harus jujur. Masalah utama bukan cuma soal ada atau nggaknya beras. Tapi seberapa cepat dan efektif beras itu sampai ke tangan rakyat dengan harga terjangkau.
Selama distribusinya masih lambat. Selama jalur logistik masih mahal. Selama koordinasi antarinstansi belum rapi. Harga beras tetap akan sulit dikendalikan. Seberapapun stoknya di gudang.
Stok Gede Saja Nggak Cukup, Saatnya Loncatan Inovasi
Kalau pemerintah merasa sudah berhasil dengan capaian stok beras tertinggi dalam 58 tahun. Mungkin saatnya kita tarik napas sejenak dan lihat lebih jernih. Stok besar tanpa distribusi yang efisien, hanya akan jadi pemanis laporan.
Presiden dan Menteri Pertanian harus sadar bahwa tantangan utama kita sekarang bukan lagi soal produksi.Â
Tapi soal penyaluran. Jalur distribusi yang lambat, tumpang tindih, dan kurang terkoordinasi. Membuat stok yang harusnya meringankan masyarakat, justru ngendon di gudang tanpa dampak nyata.
Di titik ini, Bulog nggak bisa cuma jadi operator logistik biasa. Harus ada loncatan inovasi. Entah itu lewat teknologi. Sinergi dengan startup agritech. Pemangkasan rantai pasok. Atau pembentukan sistem monitoring distribusi yang real-time dan transparan.
Presiden sebagai kepala pemerintahan, dan Menteri Pertanian sebagai motor kebijakan pangan. Harus berani mendesak Bulog untuk bergerak lebih lincah.Â
Lebih adaptif, dan lebih terukur. Kebijakan-kebijakan yang diluncurkan nggak bisa lagi tambal sulam atau bersifat reaktif.