Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Nasionalisme Bukan Tameng Untuk Kualitas Karya yang Kurang

18 Agustus 2025   17:00 Diperbarui: 17 Agustus 2025   17:35 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film animasi Merah Putih One For All. (DOK 21cineplex.com via Kompas.com)

Sebuah karya animasi memicu perdebatan sengit. Judulnya Merah Putih: One For All. 

Perdebatan terjadi pada pertengahan Agustus 2025. Peristiwa ini terjadi di ruang publik. 

Cuplikan filmnya beredar luas di internet. Karya itu sayangnya tidak menuai pujian. 

Justru malah kebanjiran banyak kritik. Banyak orang menilai kualitas visualnya. 

Kualitas visualnya dianggap sangat buruk. Bahkan memicu cemoohan massal (Detik.com, 2025). 

Tentu ini menjadi sebuah masalah besar. Film ini membawa sebuah simbol negara sakral. 

Simbol itu adalah bendera Merah Putih. Publik pun menunjukkan rasa kecewanya. 

Mereka merasa simbol bangsa tidak dihargai. Representasinya dianggap berkualitas sangat asal-asalan.

Kritik tajam dari masyarakat punya dua sisi. Di satu sisi, ini adalah sinyal positif. 

Hal itu menunjukkan kepedulian publik Indonesia. Mereka peduli tampilan identitas bangsa. 

Mereka menuntut standar kualitas terbaik. Apalagi untuk karya yang membawa nama negara. 

Terutama yang menyangkut simbol nasional (Kompas.com, 2025). Rasa cinta pada bangsa mendorong mereka. 

Mereka tidak mau menerima karya asal-asalan. Reaksi ini adalah bentuk pengawasan sosial. 

Tujuannya agar produk budaya dibuat serius. Supaya semua dibuat dengan penuh tanggung jawab.

Namun di sisi lain ada kemungkinan lain. Kemungkinan ini perlu kita pertimbangkan. 

Reaksi keras mungkin bagian budaya sinisme. Budaya sinis mudah tersulut di media sosial. 

Terkadang warganet terlalu cepat menghakimi. Mereka tak melihat konteks lebih luas. 

Semua hal tidak sempurna jadi cemoohan (MetroTVNews.com, 2025). Fenomena ini bisa menjadi contoh buruk. 

Para kreator lokal lain bisa menjadi takut. Mereka mungkin punya sumber daya terbatas. 

Tapi mereka punya niat yang sangat baik. Mereka khawatir karyanya akan dihujat. 

Apalagi jika tak selevel produksi Hollywood. Padahal industri animasi kita masih berkembang. 

Industri ini butuh dukungan dan kritik membangun. Bukan sekadar hujatan tanpa solusi.

Di tengah perdebatan muncul kontroversi lain. Kontroversi itu terkait biaya produksi film. 

Beberapa pihak mempertanyakan transparansi anggaran. Anggaran itu di balik proyek tersebut. 

Hasilnya dianggap tidak sepadan (CNN Indonesia, 2025). Isu ini menambah rumit persoalan. 

Publik bukan hanya mengkritik aspek estetika. Mereka juga mulai curiga masalah manajemen. 

Hal ini menggeser arah diskusi. Dari kualitas karya menjadi soal akuntabilitas. 

Muncul pula anggapan "kekerasan simbolik". Artinya, karya itu merusak makna luhur. 

Makna luhur dari simbol-simbol negara. Gagasan ini mungkin terdengar sangat berat. 

Namun intinya adalah soal kecerobohan. Sebuah kecerobohan dapat mencederai nilai.

Masalah film Merah Putih: One For All bisa dilihat. Ini puncak dari berbagai persoalan. 

Ini bukan lagi soal nasionalisme. Ini tentang pentingnya profesionalisme.

 Isu ini menjadi sebuah studi kasus. Studi kasus proyek yang gagal direncanakan (AntaraNews.com, 2025).

Tim produksi mungkin kurang cermat. Mereka kurang mengukur kemampuan teknis. 

Mereka juga gagal mengelola ekspektasi penonton.

Pada akhirnya, ada satu pelajaran penting. Pelajaran ini bisa kita petik bersama. 

Label "karya anak bangsa" tak bisa jadi tameng. Label itu tak bisa menutupi kekurangan. 

Penonton Indonesia sekarang lebih kritis. Mereka kini jauh lebih cerdas. 

Mereka tak menerima karya karena sentimen (MetroTVNews.com, 2025). Insiden ini harus menjadi pengingat. 

Pengingat bagi seluruh pelaku industri kreatif. Kita ingin punya animasi membanggakan. 

Maka seluruh prosesnya harus profesional. Perlu ada riset yang sangat mendalam. 

Perlu pendanaan transparan dan memadai. Perlu juga dukungan ekosistem yang sehat. 

Tanpa semua itu, ambisi jadi angan-angan. Simbol negara agung jadi tempelan. Tempelan belaka tanpa ada makna.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun