Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Komunikasi Publik Gagal, Kepercayaan Rakyat Melayang di Pati

14 Agustus 2025   17:06 Diperbarui: 14 Agustus 2025   17:06 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ketegangan antara Bupati dan Satpol PP Pati dengan massa penggalang donasi.(DOKUMEN WARGA PATI via Kompas.com)

Pemerintah dan rakyat seringkali tidak sejalan. Ada sebuah jarak yang memisahkan mereka. 

Jarak ini kadang bisa menjadi jurang yang dalam. 

Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, jurang itu terlihat. Jurang itu kini tampak sangat jelas. 

Ini adalah potret hubungan yang retak. Hubungan antara pemimpin dan masyarakatnya. 

Padahal pemimpin harus melayani warganya. Situasi ini menjadi sorotan media luas (Kompas.com, 2025).

Semua bermula dari serangkaian kebijakan. Kebijakan itu dianggap sangat kontroversial. 

Kebijakan itu datang dengan sangat cepat. Seolah tanpa pertimbangan yang matang. 

Salah satunya adalah rencana kenaikan PBB. Angka itu terdengar sangat fantastis. Batas maksimumnya mencapai 250 persen. Tentu saja warga menolak kebijakan itu. 

Pemerintah daerah mungkin punya alasan kuat. Mereka butuh peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dana itu penting untuk biaya pembangunan. 

Namun, penjelasan itu gagal sampai ke warga. Warga hanya menerima pesan sederhana. 

Ada beban baru di pundak mereka. Gelombang protes kuat pun terjadi. Akhirnya kebijakan itu resmi dibatalkan (CNN Indonesia, 2025). 

Ini bukan satu-satunya kebijakan yang batal. Hal serupa terjadi pada larangan horeg. Juga pada wacana lima hari sekolah.

Kemudian muncul kabar lain yang menyakitkan. Sekitar 220 pegawai honorer telah dipecat. Mereka bekerja di RSUD RAA Soewondo. Itu adalah rumah sakit milik pemerintah (BeritaSatu.com, 2025). 

Banyak dari mereka sudah mengabdi lama. Mereka mengabdi selama belasan tahun. 

Ironisnya, manajemen membuka rekrutmen baru. Rekrutmen itu untuk 330 pegawai. 

Bagi para pekerja, ini tidak adil. Kabar itu juga tanpa rasa empati. Hal itu mendorong mereka siap beraksi (RRI.co.id, 2025). 

Mungkin ada alasan penyesuaian status pegawai. Sesuai dengan aturan pemerintah pusat. 

Namun cara eksekusinya meninggalkan luka dalam.

Kemarahan publik akhirnya mencapai puncaknya. Aliansi masyarakat merencanakan sebuah aksi. Aksi itu adalah demonstrasi besar-besaran. 

Aksi direncanakan pada tanggal 13 Agustus. Ribuan aparat keamanan ikut dikerahkan (Tribunnews.com, 2025). 

Bupati lalu mencoba melakukan sebuah dialog. Ia mendatangi salah satu posko aksi. 

Namun kunjungannya tidak disambut dengan baik. Ia justru disoraki oleh massa. 

Bahkan ia dilempari botol oleh mereka (Harianjogja.com, 2025). Insiden ini menjadi sebuah simbol nyata. Simbol betapa lebarnya jarak yang tercipta.

Jadi, di mana letak akar masalahnya? Ini bukan lagi soal kebijakan salah. Ini adalah soal putusnya saluran komunikasi. 

Ada jurang pemahaman yang sangat lebar. Jurang antara logika pemerintah dan realitas warga. Pemerintah bicara memakai bahasa aturan. Mereka juga memakai bahasa angka dan target. 

Sementara itu warga bicara memakai bahasa rasa. Mereka bicara soal kebutuhan sehari-hari. Mereka juga menuntut adanya rasa keadilan. 

Keduanya memang sama-sama berbicara. Tetapi mereka tidak saling mendengarkan. Empati menjadi barang yang sangat langka.

Pada akhirnya, memimpin daerah itu sulit. Bukan hanya soal membuat sebuah aturan. Aturan yang benar secara hukum saja. 

Memimpin adalah sebuah seni tersendiri. Seni untuk mengelola harapan manusia. Juga untuk mengelola perasaan manusia. 

Ini adalah seni untuk mau mendengar. Mendengar sebelum pemimpin itu berbicara. 

Ini juga seni untuk mau menjelaskan. Menjelaskan sebelum melakukan suatu pemaksaan. 

Kisah di Pati ini menjadi cermin. Sebuah cermin penting bagi para pemimpin. 

Bahwa kepercayaan rakyat tidak didapat mudah. Tidak dari selembar surat keputusan. 

Kepercayaan harus diraih langsung dari hati. Hati para warganya sendiri. 

Caranya lewat dialog yang tulus. Juga lewat kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun