Bahkan ia dilempari botol oleh mereka (Harianjogja.com, 2025). Insiden ini menjadi sebuah simbol nyata. Simbol betapa lebarnya jarak yang tercipta.
Jadi, di mana letak akar masalahnya? Ini bukan lagi soal kebijakan salah. Ini adalah soal putusnya saluran komunikasi.Â
Ada jurang pemahaman yang sangat lebar. Jurang antara logika pemerintah dan realitas warga. Pemerintah bicara memakai bahasa aturan. Mereka juga memakai bahasa angka dan target.Â
Sementara itu warga bicara memakai bahasa rasa. Mereka bicara soal kebutuhan sehari-hari. Mereka juga menuntut adanya rasa keadilan.Â
Keduanya memang sama-sama berbicara. Tetapi mereka tidak saling mendengarkan. Empati menjadi barang yang sangat langka.
Pada akhirnya, memimpin daerah itu sulit. Bukan hanya soal membuat sebuah aturan. Aturan yang benar secara hukum saja.Â
Memimpin adalah sebuah seni tersendiri. Seni untuk mengelola harapan manusia. Juga untuk mengelola perasaan manusia.Â
Ini adalah seni untuk mau mendengar. Mendengar sebelum pemimpin itu berbicara.Â
Ini juga seni untuk mau menjelaskan. Menjelaskan sebelum melakukan suatu pemaksaan.Â
Kisah di Pati ini menjadi cermin. Sebuah cermin penting bagi para pemimpin.Â
Bahwa kepercayaan rakyat tidak didapat mudah. Tidak dari selembar surat keputusan.Â