Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memperbaiki Kualitas Rapat, Kunci Produktivitas Basional

15 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 12 Agustus 2025   21:58 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rapat kantor. (Dok. Kementerian ATR/BPN via Kompas.com)

Keluhan soal rapat sepertinya tidak ada habisnya. Banyak pekerja merasa waktunya telah tersita. Energi terkuras di dalam ruang pertemuan. Pekerjaan inti justru jadi sering terbengkalai. 

Rapat dianggap sebagai biang kerok utama. Hal itu membuat hari kerja panjang. Pekerja juga merasa sangat lelah. Namun, apakah menyalahkan rapat sepenuhnya bijak? 

Mungkin masalahnya tidak sesederhana itu. Kita perlu melihatnya dari banyak sisi. Jangan cepat menunjuk satu kambing hitam.

Rapat pada dasarnya adalah sebuah alat netral. Rapat itu dapat diibaratkan sebuah pisau. Bisa dipakai untuk berbagai hal baik. Bisa juga dipakai untuk hal buruk. Rapat efektif bisa mempercepat semua keputusan. 

Rapat menyatukan pandangan tim yang berbeda. Rapat juga memicu kolaborasi sangat kreatif. Masalah baru akan muncul kemudian. Yaitu ketika rapat kehilangan semua tujuannya. 

Rapat dimulai tanpa agenda kerja jelas. Diskusi melebar ke mana-mana tanpa arah. Peserta rapat tidak lagi merasa fokus. Mereka bahkan sibuk dengan gawainya sendiri. 

Hal terparah adalah ketika rapat selesai. Tidak ada keputusan yang benar-benar konkret. Tidak ada juga langkah kerja selanjutnya.

Budaya rapat berlebihan sering kali dikaitkan. Produktivitas dianggap menjadi sangat rendah. Data menunjukkan produktivitas tenaga kerja kita. Produktivitas Indonesia memang masih sangat tertinggal. 

Kita tertinggal jauh dari negara tetangga. Banyak laporan menunjukkan kesenjangan produktivitas ini. Kesenjangan ini terlihat begitu sangat konsisten. Indonesia masih kalah dari negara Malaysia. 

Apalagi dari negara maju Singapura (LPEM FEB UI, 2024). Namun itu adalah sebuah lompatan logika. Jika rapat dianggap satu-satunya penyebab utama. 

Produktivitas sebuah bangsa adalah isu rumit. Banyak faktor lain yang ikut bermain. Misalnya saja kualitas pendidikan para pekerja. Juga ada pelatihan untuk tenaga kerja. 

Lalu tingkat adopsi beragam teknologi. Serta efisiensi birokrasi dari pemerintah. Infrastruktur kerja juga menjadi faktor umum. Menyalahkan rapat adalah sebuah kesalahan besar. 

Itu seperti menyalahkan puncak gunung es. Kita tidak melihat bongkahan besarnya. Bongkahan itu ada di bawah air.

Lalu muncul banyak sekali usulan solusi. Solusi itu berkiblat ke luar negeri. Terutama pada perusahaan teknologi yang inovatif. Misalnya raksasa e-commerce bernama Shopify. 

Mereka mengambil sebuah langkah yang radikal. Mereka menghapus sebagian besar rapat rutin. Mereka juga menetapkan hari Rabu khusus. Hari itu bebas dari semua rapat. 

Tujuannya untuk meningkatkan fokus dalam bekerja (CNBC Indonesia, 2023). 

Ada juga contoh lain dari GitLab. GitLab membangun operasionalnya secara remote. Mereka memakai model komunikasi gaya asinkron. Koordinasi berbasis tulisan menjadi kuncinya. Model ini dianggap sangat efisien (Ekrut). 

Ide-ide ini terdengar begitu sangat modern. Ide tersebut juga tampak sangat menjanjikan. Namun ada pertanyaan besar yang muncul. Apakah model itu akan berhasil? Khususnya jika diterapkan di negara Indonesia. 

Kultur kerja setiap negara itu unik. Budaya kerja di Indonesia sangat berbeda. Kita sangat menghargai adanya interaksi langsung. Kita juga menyukai proses dari musyawarah. 

Hal ini bisa menjadi sebuah tantangan. Terutama untuk adopsi komunikasi gaya asinkron. Model itu terasa lebih sangat individual. Solusi paksaan bisa ciptakan masalah baru. Apalagi tanpa pertimbangan konteks budaya lokal.

Mungkin kita perlu mengubah cara pandang. Isunya bukan menghapus semua jadwal rapat. Tapi bagaimana memperbaiki kualitas dari rapat. 

Pendekatan ini terasa jauh lebih realistis. Ini juga bisa diterapkan secara bertahap. Perusahaan bisa mulai dari hal kecil. Misalnya melatih semua manajer di perusahaan. Agar bisa memimpin rapat secara efektif. 

Bisa juga mewajibkan tiap undangan rapat. Undangan harus disertai dengan agenda jelas. Serta punya tujuan yang sangat pasti. Batasi juga durasi dari setiap rapat. 

Buat rapat jadi singkat dan padat. Pastikan selalu ada catatan tiap keputusan. Juga harus ada rencana tindak lanjutnya.

Pada akhirnya, mengeluh tidak akan mengubah apa pun. Rapat yang buruk adalah masalah nyata. Rapat itu menguras banyak sekali waktu. 

Rapat juga menguras banyak sekali energi. Namun itu seringnya hanya sebuah gejala. Gejala dari persoalan yang lebih dalam. Mungkin masalahnya ada pada pihak manajemen. Atau pada budaya dari perusahaan itu. 

Budaya yang belum dirasa cukup efisien. Daripada kita terus menyalahkan alatnya saja. Sudah saatnya bagi kita belajar lagi. Belajar cara menggunakannya dengan lebih baik. 

Sebab tujuan akhir kita dalam bekerja. Bukan hadiri rapat sebanyak-banyaknya. Tapi selesaikan pekerjaan dengan sangat baik. Kita selesaikan secara kolektif bersama-sama.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun