Lalu tingkat adopsi beragam teknologi. Serta efisiensi birokrasi dari pemerintah. Infrastruktur kerja juga menjadi faktor umum. Menyalahkan rapat adalah sebuah kesalahan besar.Â
Itu seperti menyalahkan puncak gunung es. Kita tidak melihat bongkahan besarnya. Bongkahan itu ada di bawah air.
Lalu muncul banyak sekali usulan solusi. Solusi itu berkiblat ke luar negeri. Terutama pada perusahaan teknologi yang inovatif. Misalnya raksasa e-commerce bernama Shopify.Â
Mereka mengambil sebuah langkah yang radikal. Mereka menghapus sebagian besar rapat rutin. Mereka juga menetapkan hari Rabu khusus. Hari itu bebas dari semua rapat.Â
Tujuannya untuk meningkatkan fokus dalam bekerja (CNBC Indonesia, 2023).Â
Ada juga contoh lain dari GitLab. GitLab membangun operasionalnya secara remote. Mereka memakai model komunikasi gaya asinkron. Koordinasi berbasis tulisan menjadi kuncinya. Model ini dianggap sangat efisien (Ekrut).Â
Ide-ide ini terdengar begitu sangat modern. Ide tersebut juga tampak sangat menjanjikan. Namun ada pertanyaan besar yang muncul. Apakah model itu akan berhasil? Khususnya jika diterapkan di negara Indonesia.Â
Kultur kerja setiap negara itu unik. Budaya kerja di Indonesia sangat berbeda. Kita sangat menghargai adanya interaksi langsung. Kita juga menyukai proses dari musyawarah.Â
Hal ini bisa menjadi sebuah tantangan. Terutama untuk adopsi komunikasi gaya asinkron. Model itu terasa lebih sangat individual. Solusi paksaan bisa ciptakan masalah baru. Apalagi tanpa pertimbangan konteks budaya lokal.
Mungkin kita perlu mengubah cara pandang. Isunya bukan menghapus semua jadwal rapat. Tapi bagaimana memperbaiki kualitas dari rapat.Â
Pendekatan ini terasa jauh lebih realistis. Ini juga bisa diterapkan secara bertahap. Perusahaan bisa mulai dari hal kecil. Misalnya melatih semua manajer di perusahaan. Agar bisa memimpin rapat secara efektif.Â