Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragedi Haur Koneng, Saat Gagal Dialog Berujung Maut

15 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 12 Agustus 2025   21:35 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa Haur Koneng terjadi pada Juli 1993. Peristiwa itu sering dikenang secara sederhana (Kompas.com, 2024). Ceritanya kerap dibingkai seperti kisah klasik. Ada kelompok masyarakat yang merasa tertindas. 

Lalu ada negara yang bertindak semena-mena. Namun, kisah sesungguhnya jauh lebih rumit. Ini bukan sekadar cerita hitam putih. Ceritanya bukan tentang baik melawan jahat. 

Ini adalah sebuah tragedi yang sangat kompleks. Tragedi ini lahir dari banyak sekali sebab. Sebabnya dari ideologi hingga gagal komunikasi (Tirto.id, 2020).

Di satu sisi ada kelompok Haur Koneng. Kelompok ini dipimpin oleh Abdul Manan. Mereka memilih hidup di lembah terpencil. Lembah itu di kaki Gunung Ceremai. Lokasinya berada di wilayah Majalengka. 

Mereka berupaya keras hidup mandiri total. Mereka menanam makanan mereka sendiri. Mereka juga beribadah dengan caranya sendiri. Lebih dari itu, mereka menolak lembaga negara. 

Mereka juga menolak semua simbol negara. Mereka tidak mau ikut dalam sensus penduduk. Mereka juga menolak untuk memiliki KTP. Mereka tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Anak-anak itu tidak bersekolah formal. 

Mereka juga selalu mengabaikan pemilu. Bagi mereka, negara adalah entitas asing. Eksistensinya tidak perlu diakui (Detik.com, 2024).

Namun, pandangan ini berisiko menyederhanakan masalah. Menolak negara secara total punya konsekuensi. Sebuah komunitas tidak bisa hidup terisolasi. Apalagi di dalam sebuah negara berdaulat. 

Menolak sensus berarti mereka tidak ada. Mereka tidak tercatat secara administratif. Tidak menyekolahkan anak merampas hak mereka. Itu hak pendidikan para generasi penerus. 

Kesempatan masa depan mereka juga hilang. Kelompok ini juga mempersiapkan diri mereka. Mereka menyiapkan senjata golok dan celurit. Juga bambu kuning sebagai ciri khasnya. 

Kesiapan ini menunjukkan sikap mereka jelas. Mereka tidak hanya bersikap pasrah saja. Mereka siap untuk benturan fisik (Tirto.id, 2020; Detik.com, 2024).

Di sisi lain, ada negara Orde Baru. Saat itu pemerintah melihat dari kacamata keamanan. Setiap kelompok berbeda dianggap sebuah ancaman. Apalagi kelompok yang menolak otoritas resmi. 

Haur Koneng cepat dicap aliran sesat. Mereka juga dianggap sangat berbahaya. Rasa curiga pemerintah bukan tanpa dasar. Ada kelompok bersenjata menolak hukum. Tentu ini jadi perhatian negara (Kompas.com, 2024).

Masalahnya ada pada cara negara merespons. Aparat tidak memilih untuk jalan dialog. Mereka tidak melakukan pendekatan persuasif. Polisi dan tentara langsung dikirim ke sana. 

Pemicunya adalah insiden yang cukup kecil. Anggota Haur Koneng memukul kepala desa. Polisi kemudian melayangkan surat panggilan. Namun panggilan itu diabaikan mentah-mentah. 

Bagi negara, itu pelanggaran terhadap wibawa. Lalu terjadilah penggerebekan pertama yang tragis. Kekerasan dibalas dengan kekerasan lebih besar. Kapolsek Bantarujeg Sersan Sri Ayeum tewas. 

Dia tewas oleh sabetan celurit. Insiden ini menjadi titik tidak kembali. Negara merespons dengan kekuatan militer penuh. Bantuan datang dari Cirebon. 

Ada empat truk tentara Divisi Siliwangi. Juga pasukan Brimob Polda Jawa Barat. Gubuk mereka dikepung lalu dibakar. Ini sudah menyerupai operasi pembasmian (Tirto.id, 2020). 

Kasus ini lalu dikategorikan oleh Komnas HAM. Kasusnya menjadi peristiwa pelanggaran HAM (Kompasiana.com, 2015).

Tragedi Haur Koneng adalah cermin kegagalan. Ini adalah kegagalan komunikasi yang absolut. Dua pihak sama-sama sangat keras kepala. 

Keduanya berada dalam dunianya masing-masing. Haur Koneng menutup semua pintu dialog. Pemerintah Orde Baru tidak punya cara lain. Mereka hanya merespons dengan kekuatan senjata. 

Pada akhirnya, tidak ada pihak yang menang. Yang tersisa hanyalah korban jiwa. Juga trauma dan luka sejarah bangsa (Warungarsip.co).

***

Referensi:

Detik.com. (2024, 16 Mei). Sosok Abdul Manan tragedi berdarah 'Haur Koneng' di Majalengka. Detik.com. https://www.detik.com/jabar/cirebon-raya/d-7898816/sosok-abdul-manan-tragedi-berdarah-haur-koneng-di-majalengka

Dzikri, A. M. (2020, 17 April). Tragedi Haur Koneng: Rakyat menolak negara, aparat menghabisinya. Tirto.id. https://tirto.id/tragedi-haur-koneng-rakyat-menolak-negara-aparat-menghabisinya-fFCo

Hilgus. (2015, 26 Februari). Pelanggaran HAM di Indonesia. Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/hilgus/54f5d5a9a33311414f8b466b/pelanggaran-ham-di-indonesia

Kompas.com. (2024, 23 Mei). Peristiwa Haur Koneng 1993. Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2024/05/23/200000879/peristiwa-haur-koneng-1993

Warungarsip.co. (n.d.). Kliping Majalengka: Tragedi berdarah "Haur Koneng". Diakses pada 12 Agustus 2025, dari https://warungarsip.co/produk/kliping/majalengka-tragedi-berdarah-haur-koneng/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun