Di sisi lain, ada negara Orde Baru. Saat itu pemerintah melihat dari kacamata keamanan. Setiap kelompok berbeda dianggap sebuah ancaman. Apalagi kelompok yang menolak otoritas resmi.Â
Haur Koneng cepat dicap aliran sesat. Mereka juga dianggap sangat berbahaya. Rasa curiga pemerintah bukan tanpa dasar. Ada kelompok bersenjata menolak hukum. Tentu ini jadi perhatian negara (Kompas.com, 2024).
Masalahnya ada pada cara negara merespons. Aparat tidak memilih untuk jalan dialog. Mereka tidak melakukan pendekatan persuasif. Polisi dan tentara langsung dikirim ke sana.Â
Pemicunya adalah insiden yang cukup kecil. Anggota Haur Koneng memukul kepala desa. Polisi kemudian melayangkan surat panggilan. Namun panggilan itu diabaikan mentah-mentah.Â
Bagi negara, itu pelanggaran terhadap wibawa. Lalu terjadilah penggerebekan pertama yang tragis. Kekerasan dibalas dengan kekerasan lebih besar. Kapolsek Bantarujeg Sersan Sri Ayeum tewas.Â
Dia tewas oleh sabetan celurit. Insiden ini menjadi titik tidak kembali. Negara merespons dengan kekuatan militer penuh. Bantuan datang dari Cirebon.Â
Ada empat truk tentara Divisi Siliwangi. Juga pasukan Brimob Polda Jawa Barat. Gubuk mereka dikepung lalu dibakar. Ini sudah menyerupai operasi pembasmian (Tirto.id, 2020).Â
Kasus ini lalu dikategorikan oleh Komnas HAM. Kasusnya menjadi peristiwa pelanggaran HAM (Kompasiana.com, 2015).
Tragedi Haur Koneng adalah cermin kegagalan. Ini adalah kegagalan komunikasi yang absolut. Dua pihak sama-sama sangat keras kepala.Â
Keduanya berada dalam dunianya masing-masing. Haur Koneng menutup semua pintu dialog. Pemerintah Orde Baru tidak punya cara lain. Mereka hanya merespons dengan kekuatan senjata.Â
Pada akhirnya, tidak ada pihak yang menang. Yang tersisa hanyalah korban jiwa. Juga trauma dan luka sejarah bangsa (Warungarsip.co).