Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragedi Haur Koneng, Saat Gagal Dialog Berujung Maut

15 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 12 Agustus 2025   21:35 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi demonstrasi terkait peristiwa Talangsari ke Komnas HAM pada 2007. (KontraS via Kompas.com)

Peristiwa Haur Koneng terjadi pada Juli 1993. Peristiwa itu sering dikenang secara sederhana (Kompas.com, 2024). Ceritanya kerap dibingkai seperti kisah klasik. Ada kelompok masyarakat yang merasa tertindas. 

Lalu ada negara yang bertindak semena-mena. Namun, kisah sesungguhnya jauh lebih rumit. Ini bukan sekadar cerita hitam putih. Ceritanya bukan tentang baik melawan jahat. 

Ini adalah sebuah tragedi yang sangat kompleks. Tragedi ini lahir dari banyak sekali sebab. Sebabnya dari ideologi hingga gagal komunikasi (Tirto.id, 2020).

Di satu sisi ada kelompok Haur Koneng. Kelompok ini dipimpin oleh Abdul Manan. Mereka memilih hidup di lembah terpencil. Lembah itu di kaki Gunung Ceremai. Lokasinya berada di wilayah Majalengka. 

Mereka berupaya keras hidup mandiri total. Mereka menanam makanan mereka sendiri. Mereka juga beribadah dengan caranya sendiri. Lebih dari itu, mereka menolak lembaga negara. 

Mereka juga menolak semua simbol negara. Mereka tidak mau ikut dalam sensus penduduk. Mereka juga menolak untuk memiliki KTP. Mereka tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Anak-anak itu tidak bersekolah formal. 

Mereka juga selalu mengabaikan pemilu. Bagi mereka, negara adalah entitas asing. Eksistensinya tidak perlu diakui (Detik.com, 2024).

Namun, pandangan ini berisiko menyederhanakan masalah. Menolak negara secara total punya konsekuensi. Sebuah komunitas tidak bisa hidup terisolasi. Apalagi di dalam sebuah negara berdaulat. 

Menolak sensus berarti mereka tidak ada. Mereka tidak tercatat secara administratif. Tidak menyekolahkan anak merampas hak mereka. Itu hak pendidikan para generasi penerus. 

Kesempatan masa depan mereka juga hilang. Kelompok ini juga mempersiapkan diri mereka. Mereka menyiapkan senjata golok dan celurit. Juga bambu kuning sebagai ciri khasnya. 

Kesiapan ini menunjukkan sikap mereka jelas. Mereka tidak hanya bersikap pasrah saja. Mereka siap untuk benturan fisik (Tirto.id, 2020; Detik.com, 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun