Kesepian adalah krisis nyata. Dulu sering dianggap sepele. Namun kini pandangan itu berubah.Â
Pandemi Covid-19 membuka mata banyak orang. Isolasi sosial memburuk di mana-mana. Jutaan individu terputus dari dunia luar.Â
Kebijakan bekerja dari rumah memperparah keadaan. Karantina juga memperburuk kondisi. Orang yang sebelumnya sendiri jadi makin kesepian.
Data survei menunjukkan fakta ini. Di Indonesia misalnya ada survei. Tahun 2021 melaporkan 98% partisipan kesepian. Ini terjadi dalam sebulan terakhir (Kompas, 2021). CNN Indonesia (2021) juga melaporkan hal sama.Â
Secara global survei tahun 2024 Gallup melaporkan. Di Amerika Serikat 20% dewasa merasa kesepian. Angka ini setiap hari terjadi. Sempat mencapai 25% di puncak pandemi (ABC News, 2025).Â
Gallup (2025) pun mencatat data itu. Kesepian bukan hanya keterpisahan fisik. Ini pengalaman emosional yang mencakup perasaan. Perasaan terputus dan tidak penting. Atau bahkan tidak terlihat sama sekali.
Masyarakat modern mengutamakan pencapaian individu. Kesejahteraan kolektif sering terpinggirkan. Akibatnya perasaan terisolasi bisa menyerang siapa. Meskipun kelompok usia tertentu rentan.Â
Orang dewasa lebih tua contohnya sering menghadapi. Mereka menghadapi gabungan masalah. Ada penurunan fisik dan kehilangan orang tercinta. Keterasingan sosial membuat sangat rentan. Terhadap kesepian yang berkelanjutan.
Di sisi lain kaum muda juga. Mereka merasakan kesepian mendalam. Secara global kelompok usia 18-29 tahun. Memiliki tingkat kesepian tertinggi. Angkanya mencapai 27% (Statista, 2024).Â
Bahkan individu berusia 16-34 tahun. Dilaporkan lima kali lebih mungkin. Mengalami kesepian kronis (The Friendship Project).Â
Ini terjadi meski dikelilingi orang. Terutama di lingkungan perkotaan. Di kota besar seperti Jakarta. Hiruk pikuk kehidupan sering menenggelamkan. Koneksi pribadi antar manusia. Perasaan "hilang" di keramaian. Bisa sangat mengganggu diri.