Minggu ini, narasi yang beredar menggembar-gemborkan keberhasilan diplomasi. Terutama diplomasi perdagangan Indonesia. Diplomasi dengan Uni Eropa (UE). Juga dengan Amerika Serikat (AS).Â
Ada kesepakatan politik penyelesaian I-EU CEPA. Kesepakatan ini diumumkan pada 13 Juli 2025. Pengumuman oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Juga oleh Presiden Prabowo Subianto (European Commission).Â
Ada juga berita penurunan tarif resiprokal AS. Tarif untuk barang-barang Indonesia. Dari 32 persen menjadi 19 persen. Ini setelah pembicaraan langsung. Antara Presiden Prabowo dan Presiden Donald Trump (Reuters, 2025; Antara News, 2025).Â
Ini disambut dengan euforia. Disebut "minggu penuh kejutan". Juga "pencapaian besar."Â
Namun, saya skeptis. Saya merasa perlu menantang narasi optimis ini.Â
Apakah ini benar-benar kemenangan strategis? Kemenangan yang fundamental? Atau hanya adaptasi taktis?Â
Adaptasi terhadap dinamika global. Dinamika yang semakin menantang. Bahkan mungkin sebuah kompromi yang mahal.
Normalisasi Kelemahan, Bukan Kekuatan
Mari Pangestu pada opininya dalam Harian Kompas menyoroti kepemimpinan langsung. Kepemimpinan dari tingkat kepala negara.Â
Ini dalam proses negosiasi. Disebut sebagai "perkembangan signifikan". Mencerminkan "new normal". Atau keniscayaan keterkaitan isu. Isu ekonomi dan keamanan strategis.Â
Pertanyaannya, apakah ini sinyal kematangan? Sinyal adaptasi yang positif?Â
Atau justru indikasi adanya disfungsi? Disfungsi dalam sistem negosiasi perdagangan. Sistem yang tradisional.
Secara ideal, negosiasi perdagangan harusnya dijalankan menteri. Juga oleh para teknokrat ahli. Ahli di bidangnya. Berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi rasional. Juga berdasarkan data yang objektif.Â
Intervensi langsung kepala negara. Seharusnya menjadi sebuah pengecualian. Bukan menjadi sebuah aturan.Â
Ketika Presiden harus turun langsung. Membicarakan tarif dagang. Ini bisa diartikan lain.Â
Mekanisme diplomatik dan birokratis tidak cukup kuat. Atau tidak dihormati pihak lawan.Â
Presiden Trump dikenal dengan pendekatannya. Pendekatan yang unilateral. Ia sering mengabaikan norma-norma diplomatik.Â
Fakta komunikasi harus mencapai dan dilakukan level tertinggi pimpinan. Ini bisa jadi cerminan. Cerminan rapuhnya hubungan ekonomi internasional.Â
Kebijakan dipengaruhi oleh personalitas. Juga oleh dinamika politik. Bukan oleh prinsip-prinsip multilateral.
Jika ini adalah "new normal," ini normal yang tidak efisien. Normal yang juga rentan.Â
Keterlibatan kepala negara menguras modal politik. Juga menguras waktu. Waktu yang seharusnya untuk isu-isu domestik. Isu-isu yang mendesak.Â
Lebih jauh, ini berpotensi melemahkan peran institusi. Juga melemahkan keahlian kementerian teknis. Padahal itu seharusnya menjadi fondasi kebijakan. Kebijakan luar negeri dan ekonomi.Â
Apakah kita akan terus berharap keajaiban? Keajaiban komunikasi personal setiap ada masalah? Masalah perdagangan yang krusial?Â
Ini bukan strategi jangka panjang. Strategi yang berkelanjutan. Melainkan reaksi reaktif. Reaksi terhadap perilaku adidaya. Perilaku yang tidak konvensional.
Ilusi Kompetitif di Tengah Tekanan
Penurunan tarif AS dari 32 persen. Menjadi 19 persen. Ini digambarkan sebagai "pencapaian besar." Memberikan Indonesia "posisi kompetitif lebih baik." Mari kita teliti klaim ini. Dengan kacamata skeptisisme.
Pertama-tama, tarif 32 persen itu sangat memberatkan. Angka itu tidak berdasar secara ekonomi. Itu adalah sebuah alat tekan. Bukan refleksi nilai pasar yang adil.Â
Menurunkan tarif dari angka sangat tinggi. Menjadi "hanya" tinggi (19 persen). Memang terdengar seperti perbaikan.Â
Namun, apakah 19 persen itu benar-benar kompetitif?
Di pasar global yang terfragmentasi. Di mana banyak negara lain menikmati akses pasar. Akses yang jauh lebih baik. Misalnya, tarif nol persen. Dalam kesepakatan bilateral atau multilateral.
Indonesia masih jauh dari posisi level playing field. Vietnam, misalnya, mendapat penurunan tarif. Turun ke 20 persen (bukan 19 persen). Dengan syarat ketat terkait transshipment.Â
Tarif bisa naik menjadi 40 persen. Jika ada indikasi pengalihan perdagangan. Pengalihan dari negara ketiga (Politico, 2025; CNBC, 2025).Â
Apakah ada syarat-syarat serupa? Atau konsesi lain yang tidak terungkap? Yang harus dibayar Indonesia untuk tarif 19 persen?Â
Jika ini harga yang harus dibayar. Untuk menghindari malapetaka. Malapetaka yang lebih besar (PHK massal). Maka ini lebih tepat disebut pengurangan kerugian.Â
Bukan disebut "pencapaian besar." Ini adalah hasil negosiasi. Tapi dari posisi yang tertekan. Bukan dari posisi tawar yang kuat.
Selain itu, klaim "kepastian tarif 19 persen" perlu dicermati.Â
Sejarah kebijakan Trump menunjukkan fluktuasi ekstrem. Kebijakannya seringkali tidak dapat diprediksi.Â
Apa yang menjamin tarif ini tidak akan naik lagi? Jika ada perubahan dinamika politik di AS. Atau jika AS merasa Indonesia tidak memenuhi harapan mereka.Â
Ketergantungan pada hubungan personal antar kepala negara. Ini menciptakan ketidakpastian inheren.Â
Kepastian didasarkan pada keinginan seorang pemimpin. Bukan pada aturan multilateral yang kuat.Â
Ini adalah kepastian yang rapuh. Kepastian yang juga fana.Â
Perlu dicatat pula pemberlakuan tarif ini. Seperti halnya mekanisme pembelian. Masih menunggu pengumuman resmi bersama. Dari kedua belah pihak.
Membeli Akses Pasar yang Seharusnya Adil?
Artikel tersebut juga menyebutkan adanya MoU pembelian. Pembelian produk AS. Nilainya sebelumnya disebut "$34 miliar". Dan investasi "$10 miliar."Â
Namun, menurut sumber resmi Trump, komitmen disepakati US$15 miliar. Untuk energi. Dan US$4,5 miliar untuk pertanian (Antara News, 2025; Al Jazeera, 2025).Â
Ini sebagai penawaran dari Indonesia. Meskipun diklaim dilakukan melalui mekanisme bisnis-ke-bisnis.Â
Pertanyaan besar pun muncul. Apakah ini benar-benar transaksi murni bisnis? Atau justru kompensasi yang harus dibayar Indonesia? Untuk meredakan tekanan tarif?
Jika kesepakatan tarif 19 persen didapatkan. Didapatkan berkat penawaran ini.Â
Maka ini berarti Indonesia secara efektif membeli akses pasar. Bukan mendapatkannya berdasarkan prinsip perdagangan adil. Juga bukan prinsip yang terbuka.Â
Ini bisa diartikan sebagai pemindahan beban ekonomi. Dari sektor ekspor (yang terancam tarif). Ke sektor impor. Dengan melakukan pembelian yang mungkin tidak optimal. Dari segi harga atau kebutuhan.Â
Apakah semua pembelian tersebut adalah pilihan terbaik? (gandum, kapas, kedelai, pesawat Boeing, energi). Pilihan terbaik bagi Indonesia dari segi efisiensi? Juga dari kebutuhan strategis? Atau ada unsur tekanan politik di baliknya?Â
Transaksi semacam ini, jika memang bagian dari paket negosiasi, akan menciptakan distorsi pasar. Dan tidak mencerminkan prinsip perdagangan bebas. Prinsip yang harusnya kita junjung tinggi.
Deregulasi: Antara Urgensi dan Pembenaran Reaktif
Deregulasi adalah kunci. Reformasi struktural juga kunci. Memang, ini adalah kebutuhan vital. Kebutuhan bagi ekonomi Indonesia. Terlepas dari dinamika perdagangan global.Â
Namun, apakah "kejutan" tarif ini mendorong reformasi? Atau hanya menjadi pembenaran? Pembenaran atas pendekatan "pemadam kebakaran" ini? Pendekatan yang reaktif.Â
Seringkali, reformasi yang sulit baru dilakukan. Dilakukan ketika ada ancaman besar. Atau ketika ada krisis.Â
Jika pemerintah hanya bergerak cepat untuk deregulasi. Karena adanya ancaman tarif AS. Maka ini menunjukkan insentif internal masih lemah. Insentif untuk reformasi komprehensif.Â
Kita harusnya tidak butuh tekanan eksternal. Untuk memperbaiki fondasi ekonomi domestik kita.Â
Deregulasi harus menjadi fondasi kebijakan ekonomi. Kebijakan yang proaktif dan berkelanjutan. Bukan sekadar respons taktis. Respons terhadap ancaman jangka pendek.
Menghadapi Realitas, Bukan Melarut dalam Euforia
"Minggu Penuh Kejutan" mungkin telah membawa sedikit kelegaan. Terutama bagi sektor-sektor tertentu.Â
Namun, penting bagi kita untuk tidak larut dalam euforia. Kita harus melihat situasi ini dengan jernih.Â
Keterlibatan kepala negara yang intensif. "Pencapaian" tarif yang masih tinggi. Dan "penawaran" yang signifikan.Â
Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berjuang. Berjuang dalam posisi yang rentan. Di tengah arena perdagangan global. Arena yang didominasi kekuatan besar. Dengan agenda geopolitik yang kuat.
Alih-alih merayakan kesepakatan ini sebagai kemenangan mutlak. Kita harus melihatnya sebagai pengingat pahit.Â
Tentang kerapuhan sistem perdagangan multilateral. Dan urgensi membangun ketahanan ekonomi domestik. Ketahanan yang sejati.Â
Ini berarti diversifikasi pasar. Pasar ekspor dan impor. Penguatan industri dalam negeri. Serta reformasi struktural yang konsisten.Â
Reformasi yang juga berani. Tanpa harus menunggu "ancaman" dari luar.Â
Seperti dalam permainan catur. Satu langkah maju tidak menjamin kemenangan. Jika strategi jangka panjang kita belum kokoh.
Indonesia harus terus memperjuangkan penegakan prinsip. Prinsip perdagangan multilateral. Juga aturan main berbasis disiplin.Â
Namun, yang lebih penting, kita harus mengakui sesuatu.Â
Di era "new normal" ini, kemandirian adalah pertahanan terbaik. Ketahanan domestik juga.Â
Bukan sekadar respons terhadap tekanan eksternal.Â
Apakah kita akan belajar dari "kejutan" ini? Untuk membangun fondasi yang lebih kuat?Â
Atau Indonesia hanya akan terus bereaksi? Bereaksi terhadap setiap pukulan yang datang? Tantangan sebenarnya baru saja dimulai.
***
Referensi:
- European Commission. (n.d.). EU-Indonesia Agreement. Retrieved from https://policy.trade.ec.europa.eu/eu-trade-relationships-country-and-region/countries-and-regions/indonesia/eu-indonesia-agreement_en
- Reuters. (2025, July 15). US planes, cars, drinks on EU list of potential tariffs. Retrieved from https://www.reuters.com/business/autos-transportation/us-planes-cars-drinks-eu-list-potential-tariffs-2025-07-15/
- ANTARA Jatim. (2025, July 15). Trump cuts tariff on Indonesian goods to 19 percent after talks. Retrieved from https://jatim.antaranews.com/berita/947417/trump-cuts-tariff-on-indonesian-goods-to-19-percent-after-talks
- Politico. (2025, July 2). U.S. and Vietnam have reached loose framework for further trade talks. Retrieved from https://www.politico.com/news/2025/07/02/u-s-and-vietnam-have-reached-loose-framework-for-further-trade-talks-00437236
- CNBC. (2025, July 2). Trump trade: Vietnam deal. Retrieved from https://www.cnbc.com/2025/07/02/trump-trade-vietnam-deal.html
- Al Jazeera. (2025, July 15). Trump announces 19 percent tariff on Indonesia. Retrieved from https://www.aljazeera.com/economy/2025/7/15/trump-announces-19-percent-tariff-on-indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI