Jika kesepakatan tarif 19 persen didapatkan. Didapatkan berkat penawaran ini.Â
Maka ini berarti Indonesia secara efektif membeli akses pasar. Bukan mendapatkannya berdasarkan prinsip perdagangan adil. Juga bukan prinsip yang terbuka.Â
Ini bisa diartikan sebagai pemindahan beban ekonomi. Dari sektor ekspor (yang terancam tarif). Ke sektor impor. Dengan melakukan pembelian yang mungkin tidak optimal. Dari segi harga atau kebutuhan.Â
Apakah semua pembelian tersebut adalah pilihan terbaik? (gandum, kapas, kedelai, pesawat Boeing, energi). Pilihan terbaik bagi Indonesia dari segi efisiensi? Juga dari kebutuhan strategis? Atau ada unsur tekanan politik di baliknya?Â
Transaksi semacam ini, jika memang bagian dari paket negosiasi, akan menciptakan distorsi pasar. Dan tidak mencerminkan prinsip perdagangan bebas. Prinsip yang harusnya kita junjung tinggi.
Deregulasi: Antara Urgensi dan Pembenaran Reaktif
Deregulasi adalah kunci. Reformasi struktural juga kunci. Memang, ini adalah kebutuhan vital. Kebutuhan bagi ekonomi Indonesia. Terlepas dari dinamika perdagangan global.Â
Namun, apakah "kejutan" tarif ini mendorong reformasi? Atau hanya menjadi pembenaran? Pembenaran atas pendekatan "pemadam kebakaran" ini? Pendekatan yang reaktif.Â
Seringkali, reformasi yang sulit baru dilakukan. Dilakukan ketika ada ancaman besar. Atau ketika ada krisis.Â
Jika pemerintah hanya bergerak cepat untuk deregulasi. Karena adanya ancaman tarif AS. Maka ini menunjukkan insentif internal masih lemah. Insentif untuk reformasi komprehensif.Â
Kita harusnya tidak butuh tekanan eksternal. Untuk memperbaiki fondasi ekonomi domestik kita.Â
Deregulasi harus menjadi fondasi kebijakan ekonomi. Kebijakan yang proaktif dan berkelanjutan. Bukan sekadar respons taktis. Respons terhadap ancaman jangka pendek.